100 Hari Prabowo-Gibran: Performa Hukum Masih Lunglai?

Performa penegakan hukum pada 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dinilai belum memuaskan masyarakat. Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkapkan bahwa dari survei terhadap 1.220 responden diperoleh hasil baru 41,6% yang menyatakan puas terhadap penegakan hukum di bawah kepemimpinan pemerintahan baru ini. Sisanya, sebesar 30,9% menilai biasa-biasa saja, sedangkan 25,1% menilai buruk atau sangat buruk. (Inilah.com, 9 Februari 2025).
Masih besarnya penilaian ketidakpuasan masyarakat terhadap performa penegakan hukum jelas menjadi alarm bagi pemerintahan yang masih seumur jagung ini. Menjadi indikator bahwa hukum belum menjadi penggawa di negeri ini. Tidak heran jika keadilan yang menjadi buah manis penegakan hukum belum dapat dikecap oleh mayoritas masyarakat. Faktanya, hukum terus memunculkan banyak masalah yang mengecewakan rakyat.
Penegakan hukum yang masih lunglai juga memunculkan fenomena “No Viral No Justice” melalui media sosial. Tidak sedikit warganet yang memilih “melaporkan” berbagai tindak kriminalitas yang menimpanya di jejaring sosial agar menjadi viral akibat minimnya respons aparat penegak hukum. Viral dulu baru ditindak. Itulah fakta penegakan hukum saat ini. Fenomena ini pun menambah bukti lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap berbagai institusi penegak hukum di negeri ini.
Penegakan hukum yang masih lunglai menunjukkan bahwa sejatinya hukum buatan manusia mustahil membawa kebaikan. Sebaliknya, hukum kerap dibuat demi mengakomodir kepentingan segelintir orang. Tidak heran jika rawan terjadi konflik kepentingan, apalagi jika melibatkan kekuasaan dan uang. Bahkan dalam naungan sistem kapitalisme-demokrasi saat ini keadilan menjadi sesuatu yang mahal dan langka bagi mayoritas kaum papa.
Ya, kapitalisme-demokrasi nyata melahirkan hukum yang tebang pilih dan rentan dimanipulasi. Alih-alih hukum ditegakkan demi kemaslahatan rakyat, hukum yang tegak justru untuk melayani syahwat oligarki kapital. Inilah buah getir hukum yang lahir dari akal manusia yang serba lemah dan terbatas.
Manusia yang memiliki fitrah yang lemah dan terbatas sejatinya tidak akan pernah mampu membuat hukum yang membawa keadilan bagi manusia. Paradigma ini sejalan dengan pandangan Islam bahwa sejatinya hanya Allah SWT, Al-Khaliq Al-Mudabbir, yang berhak membuat hukum. Oleh karena itu, Islam memandang bahwa kedaulatan berada di tangan syarak, sedangkan kekuasaan berada di tangan umat. Maksudnya, hanya Allah SWT satu-satunya Zat yang memiliki otoritas untuk membuat hukum dan syariat, sedangkan umat diberikan hak untuk menentukan siapa penguasa (imam/khalifah) yang akan melaksanakan kedaulatan tersebut. Syarak jugalah yang menetapkan kriteria yang sahih bagi penguasa.
Sebagai pelaksana hukum syarak, penguasa merupakan perisai bagi rakyatnya untuk senantiasa menegakkan hukum secara adil. Keimanan dan ketakwaan dalam dirinya niscaya memunculkan rasa takut andai mengambil hukum selain dari Islam. Sebab, ia menyadari bahwa tiada hukum yang lebih adil dan lebih baik daripada hukum Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT, “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al-Maidah [5]: 50).
Inilah penegakan hukum yang bersumber dari Allah Zat yang Mahabenar. Niscaya membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Hukum yang benar-benar adil, bebas kepentingan, dan komprehensif. Sehingga jaminan keadilan bukan lagi sekadar utopia. Sungguh kontras dengan realitas penegakan hukum ala kapitalisme-demokrasi yang makin hari makin tampak zalim. Wallahu’Alam bissawab.
Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan