Perhiasan Dunia dan Ujian Kehidupan

Dalam kehidupan modern, manusia dikelilingi oleh berbagai bentuk keindahan dan kenikmatan teknologi, kekayaan, status sosial, bahkan hiburan tanpa batas. Namun, apakah semua itu hanya sekadar fasilitas untuk hidup nyaman, atau sebenarnya tersembunyi ujian besar di balik kemewahan itu?
Ayat ke-7 dari Surah Al-Kahfi mengungkap satu realitas mendalam: segala yang ada di bumi adalah perhiasan, tetapi diciptakan untuk menguji manusia.
اِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْاَرْضِ زِيْنَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ اَيُّهُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di atas bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang lebih baik perbuatannya. [QS. Al-Kahfi (18): 7]
Ayat ini mengajak kita merenungi kehidupan modern yang dipenuhi teknologi dan hiburan. Semua itu tampak memanjakan manusia, seolah dunia layak dikejar sepenuhnya. Namun, ayat ini menegaskan bahwa segala yang ada di bumi hanyalah perhiasan sementara yang Allah ciptakan sebagai ujian, untuk melihat siapa yang terbaik amalnya, bukan siapa yang paling banyak memiliki.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada di permukaan bumi seperti hewan, tumbuhan, dan benda-benda lainnya diciptakan oleh Allah sebagai perhiasan bumi sekaligus sebagai sarana yang bermanfaat bagi manusia. Tujuan penciptaan ini adalah untuk menguji manusia, guna mengetahui siapa di antara mereka yang paling baik amal perbuatannya. Setiap orang nantinya akan menerima balasan dari Allah yang sebanding dengan amal yang telah diperbuatnya. [Tafsir Al-Qur’anul Majid an-Nuur, jilid 3, 2388]
Imam Asy-Syaukani dalam tafsirnya menjelaskan bahwa segala yang ada di bumi adalah perhiasan dari Allah sebagai bentuk ujian. Ujian ini bertujuan mengungkap bagaimana manusia beramal. Ia juga mengutip beberapa pendapat ulama mengenai makna frasa اَيُّهُمْ (siapakah di antara mereka). Az-Zajjaj mengartikan bahwa Allah menguji untuk mengetahui siapa yang amalnya terbaik. Al-Hasan menyebut yang paling zuhud, sedangkan menurut Muqatil, maksudnya adalah yang paling shalih dalam memanfaatkan ilmu yang diberikan. [Tafsir Fathul Qadir, jilid 6, 747]
Dalam Tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab mengaitkan ayat ini dengan ayat 8 yang menjelaskan bahwa jiwa manusia pada awalnya suci dan tidak condong pada kenikmatan duniawi. Namun, untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan abadi, jiwa memerlukan akidah yang benar dan amal saleh. Karena itu, Allah menempatkan manusia di dunia sebagai tempat ujian dan penyucian jiwa, dengan memberikan daya tarik duniawi seperti harta, anak, dan kedudukan. [Tafsir Al-Mishbah, vol.8, 11-12]
Lebih lanjut menurut Quraish Shihab, keindahan dunia bukan semata untuk memuaskan keinginan manusia, tetapi juga sebagai pemicu aktivitas dan sarana bagi akal untuk merenungi serta meyakini keberadaan dan keesaan Allah. Ketika masa ujian itu selesai, Allah mencabut keterikatan manusia pada dunia, memperlihatkan hakikat dunia yang fana, dan memanggilnya kembali dalam keadaan sendiri, sebagaimana ia datang ke dunia seorang diri. [Tafsir Al-Mishbah, vol.8, 13]
Wahbah Az-Zuhaili menegaskan dalam tafsirnya bahwa Allah menciptakan berbagai keindahan di bumi dan hal-hal menyenangkan lainnya sebagai perhiasan bagi dunia dan penghuninya. Semua itu menjadi sarana ujian untuk melihat siapa yang beramal baik dan siapa yang berbuat buruk. Allah akan memberikan balasan sesuai amalnya, baik pahala maupun hukuman. Ungkapan ahsanu ‘amala merujuk pada sikap zuhud terhadap dunia, yaitu tidak terperdaya olehnya dan menjadikannya sebagai jalan menuju kebahagiaan akhirat. [Tafsir Al-Munir, jilid 8, 205-206]
Melalui beragam tafsir tersebut, kita belajar bahwa dunia bukanlah tujuan, melainkan ladang ujian yang akan menentukan nasib abadi kita. Dunia dan segala keindahannya bukan untuk dilupakan, tetapi disikapi dengan bijak, digunakan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sikap zuhud bukan berarti menolak dunia, tetapi menjadikan dunia di tangan, bukan di hati.
Hikmah utama ayat ini mengingatkan agar manusia tidak terjebak dalam kesenangan dunia yang sementara. Kita harus selalu fokus pada tujuan akhir kehidupan, yaitu meraih ridha Allah dengan amal terbaik yang bisa kita lakukan.