212: Selamat Tinggal Prabowo-Sandi
(6) Seorang Ketua KPUD menawarkan satu milyar rupiah ke sekum ormas Islam di daerah tersebut asalkan anggota mereka mencoblos pasangan nomor 1. Bahkan, dia menjamin, ijin pendirian universitas yang lama terkatung-katung, segera diterbitkan jika mereka memilih pasangan nomor 1.
Fakta, informasi, dan fenomena di atas menggugah nurani saya. Teringat, sewaktu memeriksa pelanggaran kode etik seorang direktur KPK, saya menahan perasaan untuk tidak menangis, sebab, sebagai Ketua Majelis, saya harus menjatuhkan hukuman, pemberhentian dari jabatan direktur dan skorsing selama empat bulan. Bagaimana tidak galau? Direktur yang doktor ini bersama saya dan kawan-kawan anggota Majelis Kode Etik lain sudah bertahun-tahun bersama di KPK.
Teringat hadis, “Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti kupotong tangannya,” maka dengan suara terbata-bata, saya membaca hukuman yang sudah disepakati Majelis Kode Etik. Galau yang sama ketika saya membebaskan seorang direktur karena tidak cukup alat bukti. Padahal, saya kurang menyukai orang ini. Namun, ketika mengingat ayat Qur’an, “Jangan karena kebencianmu ke suatu kaum, membuat kamu tidak berlaku adil,” saya bebaskan pejabat ini. Hal itulah yang membuatku menerima keinginan kawan-kawan yang mendaulat saya untuk menjadi Korlap unjuk rasa di MK.
Jual Kerbau untuk Hadiri Unjuk Rasa
Di antara pembicara yang menyampaikan orasi, salah seorangnya dari NTB. Beliau megisahkan, guna menghadiri unjuk rasa ini, dijual kerbaunya untuk membeli tiket pesawat ke Jakarta pp. Saya kaget, haru, dan marah. Kaget karena masih ada warga desa yang demi menuntut haknya, rela menjual kerbaunya guna membeli tiket pesawat untuk mengikuti unjuk rasa di MK. Apakah Mabes Polri, BIN, dan presiden memahami perasaan dan sikap jiwa rakyat seperti itu.
Haru karena akademisi, universitas, politisi, dan ulama tidak sensitif terhadap manipulasi hasil Pilpres, sementara ada pemuda desa yang sadar akan hak-hak siviknya dan menuntut keadilan. Marah karena Prabowo dan Sandi yang didukung pengunjuk rasa ini, tidak muncul. Marah karena ucapan mereka tidak serupa perbuatan. Padahal, Allah SWT memurkai orang yang mengatakan sesuatu, tapi tidak melaksanakannya.
Emak-Emak Histeris
Majelis Hakim MK sedang membaca putusannya, tapi belum sampai petitum, apakah menerima atau menolak permintaan Prabowo dan Sandi. Namun, saya sudah duga arah putusannya. Cuma saya tidak menyangka, kesembilan anggota MK kurang kreatif. Andaikan putusannya 7 – 2 atau 6 – 3, maka masyarakat akan menganggap, putusan hakim ‘fair.’ Putusan 9 – 0 membuat masyarakat berpikir, apakah anggota MK tidak membaca medsos, surat kabar atau menonton berita teve.
Pukul 16.00 saya umumkan, pukul 17.00 nanti, semua peserta harus bubar. Ada pengunjuk rasa yang protes. Seorang ibu dengan suara lantang, berteriak histeris, “ kami tidak ikhlas ustadz, suara kami dicurangi.” Banyak emak-emak yang menangis. Prabowo dan Sandi, di mana mereka.?
Salah seorang ustadz di mobil komando menyarankan agar peserta shalat maghrib di masjid Istiqlal sambil ittikaf menunggu putusan akhir MK. “Tidak,” kataku. Tegas. Pokoknya, pukul 17.00, kawasan unjuk rasa sudah kosong. Sebab, jika sudah gelap, tidak diketahui, ada antek komunis yang masuk ke barisan pengunjuk rasa, membuat kerusuhan.