Pertemuan IMF–World Bank: Krisis dan Rentenir Dunia Datang Lagi
Dua bencana di tanah air terjadi berurutan, yakni gempa di Lombok dan gempa-tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng). Anggaran negara tersedot untuk penyelenggaraan IMF – World Bank Group Annual Meeting di Bali 8- 14 Oktober 2018. Puncaknya diperkirakan 12 ribu hingga 15 ribu orang akan menghadiri pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia tersebut di Bali pada 12-14 Oktober mendatang. Tidak hanya itu, 3.500 delegasi dari 189 negara anggota juga akan bergabung dalam pertemuan tersebut. Juga bakal ada seribu perwakilan media dan lebih dari 5.000 peserta yang mewakili sektor swasta, komunitas perbankan, lembaga akademik, organisasi masyarakat sipil, serta pengamat dan anggota parlemen dari seluruh dunia.
Meski begitu, besarnya dana yang dikeluarkan tidak sebanding dengan apa yang nantinya diperoleh negara. Pasalnya sejauh ini, berbagai kerja sama antar sektor keuangan dalam dengan luar negeri, masih belum signifikan. Apa yang terlintas di pikaran masyarakat Indonesia ketika mendengar kata IMF dan Bank Dunia? Mayoritas akan menjawab krisis ekonomi Indonesia 1998 terbukti masih terngiang di pikaran masyarakat. Sejumlah negara menjadi pasien IMF. Rekomendasi IMF memperpanjang penderitaan rakyat Indonesia, seperti BLBI, yang memicu korupsi dan sejumlah Iangkah melengkapi kegagalan IMF. Keangkuhan Managing Director IMF Michel Camdessus yang arogan saat Presiden Suharto menandatangani Bailout Agreement juga dicatat sejarah. Pemerintahan Orde Baru yang selama 32 tahun digdaya mengelola perekonomian dengan pengendalian kuat harus memenuhi keinginan yang dipersyaratkan dalam Letter of Intent IMF.
Banyak analisis yang menyebutkan bahwa IMF ikut andil dalam penanganan krisis ekonomi Indonesia yang tidak tepat. Pendapat ini terutama dipelopori oleh Joseph Stiglitz (Globalization and Its Contents, 2002). Salah satu yang dianggap kegagalan IMF adalah memberi saran yang tidak tepat saat menurunkan subsidi BBM yang memberi dampak kenaikan inflasi, penurunan daya beli, dan berujung pada demonstrasi besar. Melalui tangan IMF banyak sektor ekonomi mengalami perubahan melangkah ke babak baru dalam pembangunan ekonomi neoliberal.
Krisis dan Rentenir Dunia Datang Lagi
Setelah hampir dua dekade sejak krisis Asia 1998, IMF sang rentenir dunia datang lagi ke Indonesia dengan misi dan motivasi lain. Rentenir dunia, IMF punya misi baru memberikan image di Asia bahwa Dana Rentenir Internasional itu hadir dengan wajah dan value yang baru. IMF pun ingin melawan stigma yang selama ini mengganggu hubungan ke sejumlah negara yang dulu menjadi pasiennya. Apakah bentuk wajah IMF dulu dan sekarang. Tapi itu perubahan itu hanya topeng kepalsuan, IMF tetaplah rentenir dunia yang tengah mengeruk keuntungan dari krisis yang akan datang.
Para ahli ekonomi kini bahkan mulai memperkirakan bakal munculnya krisis moneter baru. Miliarder AS Stan Druckenmiller, yang juga mantan manajer portofolio George Soros di Quantum Fund, menilai dunia semakin dekat dengan krisis keuangan baru. Seperti dilaporkan Sputnik News, dia menyatakan krisis tersebut bahkan dapat membawa lebih banyak masalah ke ekonomi global daripada krisis sebelumnya. Demi meyakinkan perkiraannya, Druckenmiller bahkan menyatakan berani bertaruh dengan orang lain. Investor Amerika dan manajer hedge fund yang telah bekerja untuk miliarder AS George Soros selama bertahun-tahun tersebut malah menyatakan, krisis tersebut bakal lebih mengerikan ketimbang problem-problem yang muncul beberapa tahun lalu. Dia berargumen krisis keuangan yang akan datang mungkin jauh lebih buruk karena ada masalah utang besar.
Druckenmiller mengaku sebagai satu-satunya investor yang mempunyai analis tersebut. Dia bahkan sudah beberapa kali mengungkapkan kekhawatirannya itu kepada semua pihak yang berkepentingan. “Anda dapat membuat kasus bahwa kita akan mengalami krisis keuangan yang lebih besar daripada yang terakhir,” ujarnya. Menurut Druckenmiller, Federal Reserve AS telah kehilangan banyak peluang emas untuk menaikkan suku bunganya: “Saya akan menaikkan suku bunga setiap pertemuan selama saya bisa. Dan begitu Anda mendapat gangguan substansial, saya akan mundur,” ujar Druckenmiller. Masalah lainnya, jelas Druckenmiller, terjadi kesenjangan yang semakin melebar antara orang kaya dan miskin di AS. Ini jelas penuh dengan risiko ketegangan sosial.
Druckenmiller juga melihat kebijakan yang diambil oleh Presiden Trump berimbas buruk, baik AS sendiri maupun negara-negara lain. Dia mencontohkan kebijakan perdagangan yang dikembangkan oleh Trump. Kebijakan proteksionis yang dilakukan Trump kepada banyak negara, baik terhadap Cina, negara-negara anggota Uni Eropa, Kanada, Meksiko, dan Jepang jelas telah membuat perekonomian dunia makin memanas dan tak menentu. Dengan bahasa sarkastis, Druckenmiller menyebut kebijakan perdagangan AS di bawah komando Trump sangat destruktif, cenderung menghancurkan diri sendiri dan lainnya. “Ketika Anda mulai membidik seluruh tempat, dan Anda sekarang juga sedang mengincar Kanada juga di Eropa, di sini atau di sana, dampaknya jauh berbeda dibandingkan dengan membidik Iran atau Rusia saja,” kata Druckenmiller.
Bila kondisi seperti ini terus berulang, dia memperkirakan Trump bakal susah melanjutkan kekuasaannya pada 2020 mendatang. Yang lebih buruk lagi, AS mungkin bakal menemukan dirinya dalam tumpukan masalah pada 2024 nanti. Sebenarnya, tidak hanya Druckenmiller yang memiliki persepsi tersebut. Sebelumnya sudah ada beberapa investor dan pelaku bisnis yang mengungkapkan keprihatinannya. Ivan Danilov, seorang ekonom Rusia dan kontributor Sputnik perusahaan berita yang fokus pada Politik dan ekonomi global, juga pernah menyatakan kemungkinan adanya krisis keuangan yang membayangi dunia, bahkan lebih dahsyat daripada sebelumnya. “Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa tokoh yang sangat-berpengaruh di Wall Street telah berbicara tentang masalah yang sama dan menyajikan ramalan suram kepada publik,” ungkap Danilov. Danilov menunjuk kepada Ken Griffin, pendiri dan CEO dari dana hedge Citadel, yang memperingatkan para investornya tentang awan gelap di cakrawala pada Februari 2018 lalu.
Griffin menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya inflasi dan tingkat risiko geopolitik yang tinggi. Pada Juni 2018, pemodal Amerika terke-muka lainnya, Jeffrey Gundlach, juga menyoroti utang federal AS meledak. “Itu bisa mengarah pada masalah solvabilitas fiskal yang nyata,” ungkap Gundlach. Masalah utang nasional dan defisit anggaran federal juga ditangani oleh Kantor Anggaran Kongres (CBO) dan Kantor Akuntabilitas Pemerintah AS (GAO). Kedua lembaga tersebut bahkan jelas-jelas menunjukkan keprihatinan mendalam mereka.
Artikel di Wall Street Journal juga sempat menampilkan judul yang tak sedap: “Bersiaplah untuk Krisis Keuangan Berikutnya”. Artikel tersebut dipublikasikan pada 14 September lalu, tepat saat ulang tahun ke-10 kebangkrutan Lehman Brothers.
Tentu artikel tersebut berusaha mengingatkan publik tentang nasib Lehman Brothers yang terkenal, tetapi gagal beradaptasi dengan lingkungan. Sementara beberapa pelaku pasar memperingatkan tentang badai yang membayang, yang lain justru diam-diam sudah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang bakal teijadi. Danilov mencatat Rusia, India, dan Cina telah meningkatkan akuisisi emas mereka.
Ekonom bahkan menunjukkan Polandia, negara yang tidak terpengaruh oleh sanksi atau perang dagang, tiba-tiba mulai membeli logam mulia untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade terakhir. “Situasinya mirip dengan tragedi Titanic,” kata Danilov. “Sebuah orkestra sedang ber-main di dek dan penumpang masih bersenang-senang, sementara tabrakan dengan gunung es sudah tak terelakkan. Pada saat ini, yang paling bijaksana adalah mengangkat perahu dan berjuang menyelamatkan diri.”
Dengan banyaknya pandangan yang mencemaskan, tentu Indonesia juga perlu waspada. Yang terutama harus dilakukan adalah terus memperkuat sektor ril sebagai soko dari fundamental ekonomi nasional. Sayangnya fundamental ini yang seharusnya bisa menjadi tameng yang ampuh ketika kondisi eksternal sedang tidak kondusif, sudah lumpuh karena ketergantungan bahan baku dari negara asing yang pasti bergejolak tertekan krisis.
[Jaka Setiawan]