Runtuhnya Keimanan Akibat Perayaan Tahun Baru Masehi
Perayaan tahun baru, dimana hanya satu detik terjadi saat pergantian tahun 2018 ke 2019 namun dirayakan semalaman full dengan berbagai aktivitas seperti bersenang senang, pesta pora, berpawai motor dan mobil, pesta miras dan seks bebas. Tak jarang terjadi khususnya dikalangan remaja.
Suasana tahun baru kurang lebih bisa digambarkan seperti itu. Jelas perayaan ini jauh dari ajaran Islam dan tentu kita harus tahu asal usul nya terlebih dahulu. Karena dalam ajaran Islam hanya ada dua raya yaitu idul fitri dan idul adha, Selain itu umat Islam dilarang ikut ikutan merayakan hari raya lain.
Aisyah r.a, Rasulullah Saw bersabda kepada Abu Bakar:
“Sesungguhnya bagi setiap kaum ada hari rayanya dan ini adalah hari raya kita.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hadis di atas menjelaskan bahwa umat Islam dilarang keras merayakan hari raya orang-orang kafir. Sebelum Nabi SAW datang ke Madinah, sudah menjadi kebiasaan masyarakat Madinah merayakan hari raya orang-orang Persia, atau yang disebut dengan hari Raya Nairuz dan Mihrajan. Walaupun hari raya tersebut sudah menjadi tradisi dan adat kebiasaan masyarakat setempat, Rasulullah saw tetap melarangya, karena hal itu dapat menganggu ‘izzah (kehormatan) dan kekokohan iman kaum muslimin.
Lalu dari mana asal muasal perayaan tahun baru? Sedangkan banyak umat Islam banyak ikut serta merayakannya.
Perayaan tahun baru merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings. Menurut kepercayaan bangsa Romawi Kuno, Janus adalah dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun. (G Capdeville “Les épithetes cultuels de Janus” in Mélanges de l’école française de Rome. (Antiquité), hal. 399-400).
Dengan demikian merayakan tahun baru berdampak meruntuhkan keimanan bagi seorang muslim. Secara tidak langsung orang yang ikut merayakan dan merasa senang saat merankan hari raya orang kafir. Sudah jelas perayaan ini tidak diperboleh kan bagi umat Islam karena banyak kemudaratan didalamnya apalagi taruhannya keimanan.
Dini Cindy Andzani
Mahasiswi STEI Hamfara Yogyakarta