Rezim Panik, UU Terorisme Mau Dijadikan Senjata Bungkam Lawan Politik
Dalam politik demokrasi, kekuasaan adalah segalanya, sehingga akan dipertahankan dengan berbagai cara. Pemerintah yang sedang berkuasa dan mencalonkan kembali dalam pemilu tahun ini, berupaya sekuat tenaga agar kekuasaan tetap bertahta pada rezimnya.
Seluruh perangkat pemerintahan yang seharusnya berfungsi sebagai pelayan rakyat digunakan sebagai alat propaganda untuk mengkampanyekan dirinya. Salah satu cara absurd yang dilakukan pemerintah adalah mengancam penyebar berita hoax yang berakibat pada ketakutan masyarakat datang ke TPS. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto yang mewacanakan penggunaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk menindak para penyebar hoaks. Sebab, dia menilai hoaks yang kerap beredar telah menganggu keamanan dan menakuti-nakuti masyarakat. Menurutnya hoaks tersebut telah serupa dengan aksi teror, seperti yang terjadi terkait pemilihan presiden (pilpres) atau pemilu 2019. “Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak ke TPS (tempat pemungutan suara), itu sudah terorisme. Untuk itu maka kami gunakan UU Terorisme,” kata Wiranto di kantornya, Jakarta, Rabu (20/3).
Sementara itu, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD belum menemukan dalil jika pelaku penyebaran berita bohong atau hoaks dijerat menggunakan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
“Saya belum menemukan dalilnya, saya cari-cari teroris itu kan satu tindakan kekerasan yang membuat orang takut korbannya, masyarakat umum membahaya jiwa dan sebagainya,” kata Mahfud dalam diskusi Aliansi Anak Bangsa untuk Indonesia di Hotel Treva, Menteng,Jakarta Pusat, Minggu (24/3).
Dalam pandangan Mahfud, baik tindak pidana terorisme atau tindak pidana penyebar kebohongan memiliki definisinya masing-masing. Karenanya, jika Wiranto sampai menyebut keduanya dapat saling jerat, hal itu harus dikaji lagi lebih mendalam.
Dalam Islam, kekuasaan adalah untuk menegakkan hukum syara, sehingga hubungan penguasa dan umat adalah hubungan saling menguatkan dalam ketaatan dg menghidupkan budaya amar ma’ruf nahi munkar, bukan hubungan pemenang dan oposan.
Kalaupun ada kampanye pemenangan calon, maka tim sukses akan melakukannya tanpa harus menyebar hoax atau melakukan hal-hal yang melanggar hukum islam. Kampanye yang dilakukan hanya fokus pada program-program untuk kebaikan dan kemajuan umat. Juga bukan hanya janji-janji yang memikat hati karena sejatinya seorang muslim wajib merealisakan dengan pasti.
Bahkan, dalam sejarah pergantian kepemimpinan pada Khulafaur Rosyidin, tidak ada kampanye umbar janji karena ketakutan mereka betapa besarnya amanah menjadi pemimpin.
Isah Azizah
(Aktivis Muslimah Kota Banjar)