Renungan Jelang Lebaran
Dalam beberapa hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, sudah menjadi kebiasaan masyarakat nusantara ini bersibuk diri mempersiapkan segala sesuatu untuk dibawa pulang ke kampung halaman, alias mudik.
Berbagai macam barang mulai dari pakaian, oleh-oleh dan barang bawaan lainnya rela dikemas walau terpaksa memenuhi bagasi, bahkan sampai di bawah kursi. Pun persiapan biaya mulai ratusan ribu hingga jutaan, bahkan puluhan juta rupiah, tak mengapa dikeluarkan. Tak kalah seru adalah persiapan mental dan tenaga untuk menempuh jarak berjam-jam bahkan berhari-hari.
Masih mending ketika acara tahunan ini dilakukan dengan kendaraan pribadi atau sewaan. Seringkali para pemudik ini tetap rela mengantri di terminal bus atau stasiun kereta demi bisa terangkut moda transportasi pilihannya. Itu pun tak selamanya mendapat fasilitas tempat duduk yang nyaman, terkadang harus berdiri dengan barang bawaan di tangan. Semua itu akan dengan senang hati dilakukan. Luar biasa
Berbarengan dengan persiapan pulang warga Indonesia di penghujung bulan Ramadhan ini, terdengar kabar duka meninggalnya beberapa tokoh nasional. Sebut saja dai kondang pimpinan Pondok Pesantren Adz-Dzikra Ustaz Muhammad Arifin Ilham, Menteri Agama era Presiden Gus Dur Prof Dr KH Tolchah Hasan, Menteri Dalam Negeri Era Presiden Megawati Letjen (Purn) Hari Sabarno, dan terbaru mantan Ibu Negara, Ibu Ani Yudhoyono. Teriring ucapan bela sungkawa, semoga mereka meninggal dalam keadaan husnul khotimah dan diampuni segala dosanya.
Jika persiapan pulang ke kampung halaman (mudik) saja sedemikian komplit dan butuh waktu, tenaga, biaya dan segala daya upaya yang kita bisa, maka bagaimana dengan persiapan kita menuju ‘mudik’ yang sesungguhnya? Sebagaimana yang telah terjadi pada beberapa tokoh nasional di atas. ‘Mudik’ yang tidak pernah akan kembali lagi. ‘Mudik’ ke ‘kampung halaman’ yang hakiki. Kampung akhirat.
Maka sudah selayaknya kita mempersiapkan ‘kepulangan’ dengan semaksimal kemampuan. Dengan bekal sebaik-baiknya. Karena akhir perjalanan di dunia ini adalah misteri, tak ada seorang pun yang diberi informasi, bahkan sekelas Nabi.
Waktu kita untuk mempersiapkannya tidaklah panjang, hanya sekelebatan petang. Seperti para pemudik yang mampir di rest area sekedar meluruskan pinggang dan tulang belakang.
Allah telah berfirman dalam surah Al-Hasyr ayat 18: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Juga teringat sabda dari lisan Nabi SAW yang mulia, kepada sahabatnya, Abu Dzar Al-Ghifari rahimahullah:
“Wahai Abu Dzar, perbaharuilah perahumu, karena lautan itu sangat dalam; Carilah perbekalan yang lengkap, karena perjalanan itu sangat jauh; Kurangilah beban, karena rintangan itu amatlah sulit untuk diatasi; dan ikhlaslah dalam beramal, karena yang menilai baik dan buruk adalah Dzat Yang Maha Melihat” (Disebutkan dalam kitab Nashaihul ‘Ibad yang merupakan syarah kitab Al-Munabbihat ‘Alal Isti’adad Li Yaumil Ma’aad karangan Ibnu Hajar Al-Asqalani)
Dan maksud dari ‘Perbaharuilah perahumu’, adalah perbaikilah niatmu dalam setiap beramal agar engkau memperoleh pahala dan selamat dari siksa Allah. ‘Kurangilah beban’, artinya bahwa setiap yang kita ambil akan dimintai pertanggungjawaban, maka janganlah engkau banyak mengambil hal-hal duniawi agar beban tanggung jawabmu nanti di akhirat tidak terlalu berat.
Akhirat diibaratkan dengan lautan yang dalam, perjalanan yang jauh, dan rintangan yang amat sulit untuk diatasi, menggambarkan banyaknya kesulitan dan rintangan yang mesti dilewati untuk bisa sampai kepada kebahagiaan yang hakiki.
Semoga kita semua bisa mudik ke kampung akhirat dengan membawa bekal yang cukup, dan disana termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berbahagia. Bersama Nabi tercinta kita dengan suasan yang gembira.
Susi Firdausa
(Anggota Komunitas Penulis Muslimah Peduli Umat Kota Malang)