Maskapai Asing Layani Rute Domestik Tabrak Banyak Aturan
Rencana Presiden Joko Widodo mengundang maskapai asing untuk melayani rute domestik berpotensi menabrak banyak aturan. Rencana ini juga bertentangan dengan semangat menegakkan kedaulatan udara. Di samping itu, saya mencermati pernyataan-pernyataan Presiden terkait industri penerbangan sejak akhir tahun lalu, mulai dari isu harga avtur, tiket mahal, hingga ke rencana mengundang maskapai asing, sama sekali tak mencerminkan road map penyelesaian masalah.
Presiden telah gagal paham atau mendapatkan informasi keliru dari para pembantunya. Pemahaman yang keliru mengenai industri penerbangan ini berbahaya, karena bisa mengancam kedaulatan udara kita!
Mengundang maskapai asing ke Indonesia akan bertabrakan dengan regulasi internasional yang disebut Cabotage Article 7 dalam Chicago Convention. “Cabotage” adalah hak suatu negara untuk mengelola transportasi laut, udara, serta moda transportasi lainnya untuk melindungi kedaulatan teritorialnya. Hak menolak termisi (right to refuse) ini berawal dari Paris Convention 1919 yang menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara di ranah udara bersifat konkret dan ekslusif.
Artikel tadi tak melarang maskapai asing melayani rute internasional, hanya melindungi rute domestik saja, untuk menjaga kedaulatan udara tiap-tiap negara. Jadi, itu latar belakang adanya Article 7.
Itu pula sebabnya tak ada negara manapun di dunia yang memperbolehkan maskapai asing melayani rute domestik di negaranya. Rute penerbangan domestik pastilah diproteksi sedemikian rupa, bahkan di negara paling liberal sekalipun. Makanya saya bertanya-tanya, bagaimana bisa Presiden tiba-tiba melontarkan pernyataan akan membuka rute domestik bagi maskapai asing? Usulan dari mana itu?
Selain menabrak konvensi internasional, usulan membuka rute domestik bagi maskapai asing juga bertabrakan dengan dua regulasi kita sendiri. Pertama, usulan tersebut bertentangan dengan UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, terutama Pasal 108, yang menyebutkan bahwa badan usaha angkutan udara niaga nasional seluruh atau sebagian besar modalnya haruslah dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia. Jadi, dari mana ceritanya maskapai asing mau diundang masuk untuk melayani rute domestik?
Kedua, usul Presiden tersebut melanggar Peraturan Presiden (Perpres) No. 44/2016 mengenai bidang-bidang usaha yang tertutup dan terbuka di bidang penanaman modal.
Sebagai catatan, maskapai asing memang bisa saja beroperasi di Indonesia, namun mereka harus mengubah badan hukumnya jadi berbadan hukum Indonesia, seperti yang dilakukan Air Asia Indonesia. Hal yang sama juga berlaku di negara lain. Thai Lion, misalnya, meskipun namanya Lion, tapi pemegang saham mayoritasnya adalah Thailand, bukan Lion Indonesia. Begitu juga dengan Batik Malaysia, pemilik mayoritasnya adalah Malaysia, bukan Batik Air Indonesia.
Jadi, saya berharap Presiden berhati-hati sebelum melontarkan pernyataan. Jangan sampai kita jadi bahan tertawaan dunia karena asal ngomong tanpa memperhatikan konvensi hukum dengan berbagai konsekuensinya.
Lagi pula, Pemerintah mestinya mengkaji terlebih dahulu sebab kenapa harga tiket pesawat mahal atau kenapa jumlah penumpang di bandara antara Januari hingga April 2019 kemarin bisa anjlok hingga 20 persen. Benarkah anjloknya jumlah penumpang karena harga tiket mahal, atau karena ada faktor lain, seperti anjloknya daya beli, misalnya? Ini perlu ditelaah lebih dahulu, tak bisa disimpulkan sepihak begitu saja.
Apakah mahalnya harga tiket memang benar karena faktor duopoli, ataukah karena faktor lainnya, seperti buruknya tata kelola industri penerbangan, termasuk buruknya Pemerintah dalam menyusun regulasi, misalnya? Itu juga kan perlu kajian.
Sayangnya, saya mencatat Pemerintah memang seringkali melontarkan pernyataan sembarangan terkait kebijakan dalam industri penerbangan. Kesimpulan-kesimpulan mereka tak kredibel. Ada beberapa isu yang saya catat.
Pertama, ketika harga tiket pesawat pertama kali melonjak pada akhir 2018 lalu, Presiden telah mengkambinghitamkan harga avtur sebagai penyebab kenaikan harga tiket, dan secara sepihak menyebut bahwa mahalnya harga avtur adalah karena monopoli Pertamina. Padahal, harga avtur waktu itu justru sedang dalam tren penurunan.
Rata-rata harga avtur dunia yang pada Oktober 2018 berada pada level US$2,25 per galon, kemudian turun 13,52 persen menjadi US$1,95 pada November 2018, dan kembali turun menjadi US$1,71 pada Desember 2018. Jadi, naiknya harga tiket pesawat di Indonesia justru terjadi pada periode ketika harga avtur turun. Bahkan, maskapai-maskapai penerbangan yang tergabung dalam Indonesia National Air Carriers Association (INACA) pada Februari lalu mengakui bahwa kenaikan harga tiket memang tak berkaitan dengan avtur.
Jadi, dari mana Presiden mendapatkan informasi bahwa kenaikan harga tiket akibat harga avtur?
Kedua, rendahnya harga tiket pesawat sebelum ini sebenarnya terjadi bukan karena efisiensi, melainkan karena praktik perang tarif yang dilakukan industri penerbangan. Maskapai tak bisa melanjutkan perang tarif sejak kurs Rupiah terus merosot terhadap dollar, yang membuat biaya operasional jadi melonjak. Terbukti, kinerja keuangan semua maskapai domestik sejak 2017 lalu memang cenderung memburuk.
Garuda Indonesia, misalnya, hingga akhir kuartal III 2017 mencatatkan kerugian US$110,2 juta. Selain Garuda, Air Asia Indonesia juga mengalami kinerja keuangan serupa. Pada kuartal III 2018, Air Asia menderita kerugian Rp639,16 miliar, atau membengkak 45 persen year on year (yoy). Saat ini angkanya, menurut Kementerian Perhubungan, bahkan telah mencapai Rp1 triliun. Tahun ini juga tak ada satupun maskapai yang mencatatkan keuntungan.
Jadi, tertekannya maskapai penerbangan kita sebenarnya juga disumbang oleh kegagalan Pemerintah memperbaiki indikator-indikator ekonomi makro.
Ketiga, meskipun Pemerintah terus jorjoran membangun bandara, jumlah pesawat terus bertambah, rute dan frekuensi penerbangan juga bertambah, jika kita menggunakan data statistik, jumlah penumpang dan barang yang diangkut sebenarnya relatif stagnan, bahkan terus turun. Jika dibandingkan dengan ketersediaan produksi, misalnya, maka sejak 2014 telah terjadi penurunan jumlah penumpang yang diangkut dari sebelumnya sebesar 82,33% (2014) menjadi tinggal 77,56% (2017).
Apa artinya?
Selama ini pembangunan infrastruktur bandara, pembukaan izin rute baru, serta pemberian izin penambahan armada tidak pernah memperhatikan jumlah penumpang dan kebutuhan riil masyarakat, sehingga terjadi ‘oversupply’ yang membuat industri penerbangan kita tak efisien. Lagi-lagi ada sumbangan kegagalan Pemerintah dalam persoalan ini.
Jadi, kembali lagi pada isu Presiden yang ingin mengundang maskapai asing untuk menekan harga tiket, saya kira ide itu ‘misleading’. Buatlah diagnosa yang benar, agar solusi untuk mengobati industri penerbangan kita yang sedang sakit juga benar. Isu penerbangan ini sebaiknya tidak dilihat hanya dengan kacamata konsumerisme, yaitu bagaimana menyediakan tiket murah untuk konsumen, tapi juga harus memperhatikan aspek kedaulatan dan geostrategis pertahanan keamanan.
Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Wakil Ketua DPR RI; Wakil Ketua Umun DPP Partai Gerindra