Keluarga Pilar Peradaban Mulia
UNWomen merilis sebuah laporan berjudul “Progress of the World’s Women 2019: Families in a Changing World” pada Selasa, 25 Juni 2019. Laporan ini disebut sebagai penilaian luas terhadap peringatan Hari Keluarga Nasional, termasuk di Indonesia yang dihelat setiap tanggal 29 Juni. Laporan tersebut memuat penilaian terhadap realitas keluarga saat ini dari sudut pandang transformasi ekonomi, demografis, politik dan sosial. (UNWomen.org, 15/5/2019).
Namun ada hal yang patut diwaspadai dan dikritisi adalah adanya muatan agenda kesetaraan gender dalam keluarga secara totalitas, baik dalam aspek hukum, kebijakan ekonomi dan sosial. Mengingat Barat gencar mengekspor ide feminisme sebagai upaya kapitalisasi perempuan.
Laporan yang dirilis pasca peringatan Hari Keluarga Internasional pada 15 Mei menjadi penting. Sebab sangat relevan dengan realitas keluarga yang terus mengalami perubahan hari ini. Perubahan yang terjadi tentu dipengaruhi banyak faktor dan kondisi dunia saat ini. Perubahan ini juga menjadi penting sebab mempengaruhi perubahan bentuk dan wajah sebuah masyarakat dan negara.
Namun lebih daripada itu, perubahan keluarga juga menjadi gambaran perubahan pandangan keluarga terhadap hak-hak perempuan. Hal ini diungkapkan Kepala Riset dan Data UNWomen, Shahra Razavi pada peringatan Hari Keluarga Internasional tahun 2017 lalu. (UNWomen.org, 12/5/2017).
Menyadari adanya perbedaan bentuk keluarga di seluruh dunia, terkait aturan dan norma yang dianut. Maka PBB perlu memformat ulang keluarga sesuai keinginan dan target mereka. Alasan ini menjadi fokus utama laporan UNWomen dalam Progress of the World’s Women 2019 dengan judul “Families in a Changing World” (Keluarga di Dunia yang Berubah).
Mewaspadai Keluarga sebagai Penyokong Kesetaraan Gender
Format keluarga yang diinginkan jelas sesuai pemikiran Barat yang kapitalis. Hal ini dilandasi pandangan Barat terhadap perempuan yaitu sebagai objek untuk dieksploitasi. Sehingga menempatkan perempuan sebagai penggerak roda perekonomian bagi kapitalis. Di mana tenaganya diperas habis-habisan untuk menghasilkan barang dan jasa. Sementara kecantikan dan tubuhnya dimanfaatkan untuk meningkatkan penjualan. Sedangkan hak-haknya dikebiri dan tidak dipenuhi.
Ketidakadilan terhadap perempuan di Barat inilah yang menjadi sebab munculnya gerakan feminisme Barat. Menjadi ironi, munculnya ide feminisme yang menuntut kesetaraan gender terhadap perempuan secara komprehensif, justru berujung pada rusaknya peran perempuan sebagai ibu generasi.
Feminisme dalam naungan kapitalisme telah mengantarkan perempuan ke lembah kenistaan. Maraknya kasus kriminalitas yang menimpa perempuan, baik di ranah publik maupun domestik adalah buah pahit dari feminisme yang menginfeksi perempuan. Di satu sisi, semakin membuktikan bahwa ide kesetaraan gender yang dihembuskan kaum feminisme menjadi penyokong bagi eksistensi kapitalisme.
Ide kesetaraan gender inilah yang ingin diformat ke dalam tatanan keluarga. Di mana keluarga yang ingin dibentuk di masa datang adalah keluarga yang bekerja untuk menyokong perempuan. Keluarga yang demokratis yang memandang kesetaraan gender sebagai ide mulia sebagai solusi dari problematika perempuan dunia. Di satu sisi sebagai pendorong bagi terbukanya kiprah perempuan di ranah publik untuk menggerakan roda perekonomian.
Ini pula yang mendorong upaya penanaman nilai-nilai gender dalam keluarga. Tujuannya untuk membentuk kesadaran gender pada anggota keluarga sejak dini. Sebab adanya keyakinan terwujudnya kesetaraan gender mesti diawali dari institusi terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga.
Keluarga dipandang sebagai forum strategis untuk menanamkan nilai kesetaraan gender bahkan sebagai garda terdepan. Oleh karena itu, PBB serius ‘memaksa’ orang tua, pengasuh dan keluarga besar harus mulai membentuk cara berpikir tentang gender dan kesetaraan sejak usia dini.
Perubahan inilah yang patut kita waspadai. Sebab perubahan ini yang dikehendaki Barat, khususnya terhadap dunia Islam. Keluarga sebagai penyokong bagi tumbuh dan berkembangnya ide kesetaraan gender. Perubahan ini juga selaras dengan kampanye “Generation Equality: Realizing women’s rights for an equal future” yang akan diadakan secara global dan digaungkan hingga tahun 2020 nanti. Sebuah kampanye guna memperingati 25 tahun the Beijing Declaration and Platform for Action yang dibuat pada 1995.
Keluarga sebagai Pilar Peradaban
Ilusi kesetaraan gender jelas tak sejalan dengan Islam. Sebab Islam menempatkan laki-laki dan perempuan dalam kedudukan yang sama-sama mulia. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam betuk yang sebaik-baiknya” (TQS. At-Tiin [95] : 4). Yang membedakan keduanya hanyalah ketakwaannya pada Allah Ta’ala, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (TQS. Al-Hujarat[49]:13).
Perbedaan fitrah antara laki-laki dan perempuan sejatinya bukan untuk berkompetisi. Tapi untuk saling melengkapi. Perbedaan fitrah ini pula yang menjadi pondasi untuk menjalankan perannya secara ideal dalam bingkai pernikahan. Peran ideal keduanya inilah yang nantinya membentuk keluarga sebagai pilar peradaban Islam.
Dalam pandangan Islam, keluarga tak hanya memiliki fungsi sosial, tapi juga fungsi politis dan strategis. Secara sosial, keluarga adalah ikatan terkuat yang berfungsi sebagai peletak dasar pendidikan. Ayah dan ibu merupakan pengajar pertama bagi anak-anaknya. Keduanya juga menjadi wadah untuk menumbuhkan dan mengembangkan interaksi yang dilandasi kasih sayang dan kepedulian. Interaksi harmonis yang menciptakan ketenangan dan ketentraman hidup antar anggota keluarga.
Secara politis dan strategis, keluarga berfungsi untuk melahirkan dan menyiapkan generasi unggulan. Generasi yang bertaqwa, cerdas, tangguh dan memiliki jiwa kepemimpinan. Generasi yang dipersiapkan untuk memimpin peradaban mulia. Generasi yang mengantarkan Islam sebagai umat terbaik yang Allah Ta’ala kabarkan. Keluarga yang menjalankan fungsi tersebut jelas tak hanya melahirkan generasi calon mujtahid. Tapi juga melahirkan generasi calon mujahid. Sebab keluarga dibangun sebagai madrasah, masjid, rumah sakit bahkan kawah candradimuka. Inilah wujud nyata dari keluarga sebagai pilar peradaban mulia.
Tentunya hal ini dapat terwujud jika aturan Islam diterapkan secara kaffah dalam institusi negara. Sebab hanya dalam naungan Islam pembagian peran dan fungsi dalam keluarga dapat berjalan ideal dan proporsional. Islam juga memahami bahwa pembagian hak dan kewajiban di antara anggota keluarga, merupakan bentuk kesetaraan, keadilan, kesempurnan dan perlindungan yang diberikan Islam. Tujuannya tak lain untuk menggapai ridha Allah Ta’ala semata. Di sisi lain, penerapan Islam secara kaffah dalam institusi negara akan melindungi keluarga dari berbagai ide dan paham rusak nan merusak. Negara juga menjalankan fungsinya secara politis sebagai soko guru ketahanan keluarga.
Jelas kesetaraan gender tidak akan mengantarkan perubahan keluarga ke arah hakiki. Sebaliknya menjadi sebab kehancuran institusi keluarga Muslim. Hanya dalam naungan Islam terbentuk keluarga ideal yang menjadi pilar peradaban. Hal ini dapat terwujud jika Islam diterapkan secara kaffah dalam institusi negara. Wallahu’alam.
Ummu Naflah
Pemerhati Perempuan, Muslimah Peduli Generasi