Impor Ugal-ugalan, Ciri Negara Neoliberal
Impor lagi…impor lagi… seolah tak mampu dibendung. Untuk kesekian kalinya negara kita bakal kebanjiran barang impor lagi. Kali ini impor daging ayam dan sapi.
Seperti yang disampaikan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Indonesia akan membuka keran impor bagi komoditas ayam dan daging sapi asal Brazil. Tak tanggung- tanggung, sebanyak 50 ribu ton daging sapi akan membanjiri negeri ini. Hal ini menyusul kekalahan Indonesia atas gugatan yang diajukan pemerintah Brazil ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tak berdaya di hadapan WTO, Indonesia mau tidak mau harus melaksanakan keputusan WTO dengan menerima impor daging ayam dan sapi dari Brazil.
Dibukanya keran impor besar-besaran, membuat khawatir para pemain bisnis lokal, yakni peternak. Sekretaris Eksekutif Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Samhadi mengkhawatirkan masuknya impor ayam ini dapat berefek buruk buat peternak. Pertama, kata Samhadi, impor dari Brasil akan membanjiri pasokan daging ayam beku atau cold chicken. Dampaknya akan langsung terasa oleh industri dan peternakan yang menyuplai daging ayam untuk pabrik olahan. Lalu jangka panjangnya, Samhadi memperkirakan penyerapan daging dari peternak lokal akan terganggu.
Saat penyerapan menurun, maka harga ayam hidup di tingkat peternak akan terganggu dalam beberapa bulan ke depan. Tirto, Kamis (8/8/2019). Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam (Gopan), Sugeng Wahyudi. Ia mengatakan masuknya ayam impor akan semakin menekan pasar dalam negeri. Sugeng menjelaskan saat ini komposisi pasar saja sebagian besar sudah didominasi oleh industri integrator (hulu-hilir). Berdasarkan data Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN), saat ini 3 perusahaan ayam terintegrasi menguasai 80 persen. Bila tak ada antisipasi, Sugeng khawatir, ada efek domino bahwa ruang gerak peternak lokal yang sudah cukup terdesak akan semakin memburuk.
Hingga Agustus ini, impor beberapa komoditas lain yang dilakukan pemerintah juga sempat menjadi sorotan. Salah satunya impor beras yang diberikan saat petani sedang panen raya. Bahkan impor sempat dipaksakan saat kapasitas Gudang Bulog sudah berlebih. Kemudian ada juga kritik pada impor gula yang sempat meroket hingga Indonesia menjadi importir terbesar di dunia per tahun 2017-2018. Impor jagung sebanyak 60 ribu ton per Maret 2019 juga menjadi polemik karena diberikan saat kesalahan data belum dibenahi. Lalu impor baja yang masuk ke Indonesia sempat berimbas pada produsen baja lokal akibat Permendag Nomor 22 Tahun 2018 membuka celah masuknya penjualan baja karbon yang lebih murah dari pasar domestik. Tak hanya itu, masuknya produk semen asing ke Indonesia juga telah menuai persoalan. Sebab, produksi semen Indonesia masih surplus 35 juta ton per tahun.
Yang paling menyedihkan, sebagai negara kepulauan, yang memiliki panjang pantai yang luar biasa, Indonesia menjadi negara pengimpor garam. Menurut Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) mencatat sebanyak 1,54 juta ton garam impor yang sudah masuk ke Indonesia. Jumlah ini baru sebagian dari izin impor garam yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Sebagaimana diketahui, pemerintah sudah memberikan izin impor garam sebanyak 2,75 juta ton. Saat ini yang masuk baru 1,54 juta ton sehingga masih ada alokasi 1,1 juta ton yang belum masuk.
Bukan hanya itu, studi NSEAS pada September 2018 menyebutkan Indonesia masih ketergantungan impor sebanyak 29 komoditas pertanian dari beragam negara seperti: beras dan beras khusus, jagung, kedelai, biji gandum, tepung trigu, gula pasir, gula tebu, daging lembu, kentang dsb.
Presiden Joko Widodo sebenarnya mengetahui bila dampak dari derasnya impor ini membuat defisit neraca perdagangan Indonesia masih melebar di angka 1,93 miliar dolar AS per Juli 2019 dibandingkan capaian year on year 2018. Belum lagi, sepanjang 2018 defisit neraca perdagangan tercatat menjadi yang terdalam dengan nilai 8,70 miliar dolar AS selama periode pertama Jokowi. Sudah tahu akibatnya, mengapa impor Ugal-ugalan seperti ini masih terus dibiarkan? Dimana peran negara?
Terkungkung Paradigma Neoliberal
Negara saat ini abai terhadap kemandirian pangan, sebab telah menggunakan paradigma neoliberal dalam pengelolaan pangan dan pertanian. Paradigma bathil ini, menjadikan Negara memposisikan diri hanya sebagai regulator dan fasilitator saja, sementara terkait pengurusan hajat rakyat diserahkan pada korporasi/ mekanisme pasar.
Kalau saja pemerintah serius menciptakan kemandirian pangan, semestinya pemerintah fokus meningkatkan produksi dalam negeri, memberi perhatian lebih kepada petani/peternak lokal agar berdaya dan mampu memasok kebutuhan rakyat secara keseluruhan. Tapi, kondisinya justru sebaliknya, petani dan peternak sering mengeluhkan beratnya biaya produksi. Sementara pemerintah tak bisa berbuat banyak. Menurut Ketua Bidang Peternakan dan Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J. Supit, dari segi harga produksi, ayam domestik masih lebih mahal dibandingkan dengan yang berasal dari Brasil. Dia mengemukakan, harga pokok produksi ayam Brasil hanya 50% dari ayam produksi Indonesia. Alhasil, dengan asumsi harga pokok produksi (HPP) ayam peternak mandiri yang berkisar pada Rp18.000/kg, HPP ayam brasil hanya berkisar Rp9.000/kg—Rp10.000/kg.
Menurutnya, kondisi tersebut menjadi hal yang wajar mengingat harga pakan ternak di Brasil cenderung stabil dan jarang terjadi kekurangan pasokan. Sementara itu, di Indonesia, persoalan pakan ternak hampir selalu menjadi masalah berulang yang harus dihadapi.
Liberalisasi juga terlihat dari makin banyaknya alih fungsi lahan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan 82 persen lahan di Indonesia dikuasai oleh korporasi besar. Umumnya digunakan untuk konsesi dan izin di sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan. Di samping itu konversi lahan pertanian menjadi non pertanian berjalan masif.
Akibat liberalisasi Perdagangan
Sudah tak bisa dipungkiri, negara-negara maju berupaya memaksakan agenda liberalisasi perdagangannya untuk memasarkan produk mereka melalui lembaga WTO, AFTA, CAFTA, dan lembaga multilateral lainnya. mereka menggunakan cara licik, dengan menekan negara-negara berkembang agar membuka keran impor sebesar-besarnya untuk produk-produk mereka. Sementara menutup rapat pintu impor ke negara mereka. Mereka menuntut agar negara-negara berkembang menghentikan subsidi bagi produk-produk dalam negerinya, sementara mereka jor-joran mendukung dan mensubsidi produk-produk dalam negeri mereka. Ini menjadikan produk mereka selalu bisa lebih baik, lebih berdaya saing karena ongkos produksi yang efisien. Sementara prduk kita dengan ongkos produksi yg mahal, tidak mampu menyaingi produk-produk mereka.
Lihatlah bagaimana dengan strategi licik mereka, Indonesia dibuat tak berdaya dan tak mampu berkutik, saat WTO memenangkan gugatan Brazil agar menerima impor ayam dan daging sapi mereka. Jelaslah lembaga seperti WTO hanya menjadi kepanjangan tangan negara-negara raksasa untuk menekan negara berkembang. Lembaga-lembaga ini tak akan pernah menguntungkan bagi petani/peternak kita. Petani dan peternak kita dibuat mati dan gulung tikar saat kebijakan impor diterapkan, produk kita karena kurang dukungan dari pemerintah jelas kalah saing dengan produk dari negara raksasa. Pertanyaannya, negara ada dimana? Apakah akan berada di posisi rakyat, dengan mendukung mereka melalui swasembada pangan? Atau berada di posisi korporasi multinasional yang menjadi sapi perah meraka, sementara rakyat dibuat miskin? Bila demikian, jelaslah negara kita telah meyakinkan dirinya sebagai negara neoliberal. []
Ummu Farhana
(Majelis sobat Qur’an Ciamis)