SUARA PEMBACA

Impor Cabai Menerus, Nasib Petani Tergerus

Menanam cabai dengan harapan panen raya dan mendapatkan keuntungan, hanya menjadi angan-angan bagi petani di Indonesia. Bumi pertiwi yang melimpah dengan hasil pertanian dan perkebunannya belum berbanding lurus dengan kesejahteraan bagi petaninya.

Pasalnya, petani harus menelan pil pahit anjloknya harga cabai yang mencapai 100%. Berdasar-kan Info Pangan Jakarta, harga cabai rata-rata turun. Di waktu normal, harga cabai berada di kisaran Rp25.000 per kilogram di pasaran. Namun sekarang, harga cabai turun drastis menjadi Rp12.000 per kilogram sejak penerapan PPKM mulai Juli sampai akhir Agustus 2021 (Rm.id, 29/8/2021).

Anjloknya harga cabai ditengarai karena beberapa faktor, yaitu adanya panen massal. Selain itu, cabai pun merupakan komoditas yang mudah rusak dengan daya simpan dan rendah. Namun, ternyata bukan sekadar pada faktor cabainya saja, ternyata impor cabai yang menerus lebih berpengaruh pada tersungkurnya harga cabai hasil tanam petani di dalam negeri. Mirisnya impor menerus tak memedulikan jika ketersediaan cabai di dalam negeri masih aman bahkan surplus.

Faktor gelontor impor menjadi pemicu utama petani meluapkan kekecewaannya. Sehingga video viral yang berisi petani cabai yang mengamuk dengan mencabut tanamannya menjadi sebuah kewajaran.

Reaksi simpati terhadap nasib petani cabai pun datang dari beberapa kalangan. Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Yogyakarta Hempri Suyatna menyayangkan kebijakan adanya impor cabai yang dilakukan pemerintah Indonesia pada saat pandemi.

Begitupun yang diutarakan Anggota Komisi IV DPR RI Slamet. Beliau berpendapat bahwa harga cabai yang anjlok di pasaran menjadi bukti ada masalah yang seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah. Seharusnya Pemerintah hadir melindungi petani. Jangan hanya berpikir impor terus, sementara nasib petani kita semakin sengsara.

Bukan sekadar itu, di luar impor komoditas, ternyata penderitaan petani pun bertambah oleh persoalan biaya produksi, terutama pupuk. Kartu Tani yang diperoleh minoritas petani pun pada faktanya tak bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan pupuk bersubsidi.

Hal demikian disebabkan harga pupuk bersubsidi yang faktanya masih belum murah. Sistem penyaluran yang ruwet, yakni melalui perusahaan dan kios pedagang pupuk yang terdaftar di kelompok tani memberi peluang kecacatan administrasi bahkan berujung penyelewengan.

Penyelewengan ini pun nyatanya bukan hanya terjadi di tingkat pedagang. Bahkan beberapa tahun lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menangkap anggota DPR yang terlibat kasus suap terkait distribusi pupuk bersubsidi yang anggarannya mencapai ratusan triliun rupiah.

Selain harganya yang tak ramah, pupuk bersubsidi ini pun mengalami kelangkaan di pasaran. Yang banyak beredar malah pupuk impor yang berasal dari negeri Tiongkok dengan harga yang juga sama-sama mahal dengan kualitas yang tak terlalu menjanjikan keberlimpahan hasil pertanian.

Beginilah nasib petani di negeri yang kapitalistik. Bukan dimudahkan dalam pencaharian, yang ada justru sebaliknya. Penguasa tak menjadikan kepentingan rakyat sebagai perhatian utama.

Sungguh berbanding terbalik dengan potret penguasa di dalam kepemimpinan Islam. Penguasa sejatinya adalah pelayan sekaligus pelindung umat. Ia hadir bukan sebagai pebisnis atau pedagang. Mereka wajib memastikan kebutuhan umat. Mereka dengan tanggung jawab penuh menjamin keamanan agar terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana wajib pula bagi mereka memastikan kedaulatan dan kemandirian negara tetap terjaga.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button