Uighur Memanggil, Dimana Al-Mu’tashim?
Gelombang aksi #SaveUyghur terus disuarakan baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Sejumlah kota besar seperti Bandung, Bogor, Yogyakarta dan Medan tidak ketinggalan ikut ambil bagian dalam aksi damai peduli Muslim Uighur pada Jumat (20/12) hingga Ahad (22/12).
Aksi warganet pun tidak kalah ‘berisik’ tagar #SaveUyghur, #IndonesiaStandWithUyghur dan #WeStandWithUyghur malang melintang di trending topic Twitter, bahkan tagar #China_is_terrorist tembus hingga satu juta cuitan. Luar biasa memang warganet Indonesia dalam upaya pembelaan terhadap Muslim Uighur.
Ya, Uighur kembali menjadi sorotan dunia setelah skandal ‘The China’s Cables’ bocor ke tengah publik dunia. ‘The China’s Cables’ merupakan sebutan bagi sejumlah dokumen rahasia yang merinci upaya pemerintah China mencuci otak ratusan ribu Muslim secara sistematis dalam jaringan kamp-kamp penjara dengan penjagaan ketat.
Menjadi rahasia publik, pemerintah China telah berkali-kali mengklaim bahwa kamp-kamp yang terletak di wilayah Xinjiang Barat itu menawarkan pendidikan dan pelatihan secara sukarela. Tapi dokumen-dokumen resmi, yang dibaca BBC Panorama justru menunjukkan sebaliknya. Dalam dokumen tersebut dilaporkan bagaimana para tahanan dikurung, diindoktrinasi, dan dihukum.
Dokumen-dokumen resmi tersebut dibocorkan ke Konsorsium Jurnalis Investigatif Internasional (ICIJ), yang bekerja sama dengan 17 mitra media, termasuk BBC Panorama dan surat kabar The Guardian di Inggris. Penyelidikan tersebut menemukan bukti baru yang melemahkan klaim Beijing bahwa kamp-kamp penahanan, yang telah dibangun di Xinjiang selama tiga tahun terakhir. (bbc.com, 25/11/2019).
Sebelumnya, pada medio Agustus 2018, PBB mengklaim ada lebih dari satu juta warga Uighur dan sebagian besar minoritas Muslim lainnya dikumpulkan dalam kamp-kamp konsentrasi di wilayah paling Barat China sejak 2014. Para tahanan tersebut mayoritas berasal dari etnis Muslim Uighur yang diperkirakan telah ditahan tanpa pengadilan. (bbc.com, 12/8/2018).
Paralel dengan skandal ‘The China’s Cables’, publik Indonesia pun digegerkan dengan berita yang dirilis Wall Street Journal (WSJ). Laporan Wall Street Journal (WSJ) yang ditulis Rabu (11/12), memaparkan China mulai menggelontorkan sejumlah bantuan dan donasi terhadap organisasi Islam di Indonesia setelah isu Uighur kembali mencuat ke publik pada 2018 lalu. Disebut WSJ, China berupaya membujuk sejumlah organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, media Indonesia, hingga akademisi agar tak lagi mengkritik dugaan persekusi yang diterima etnis minoritas Muslim Uighur di Xinjiang. (cnnindonesia.com, 12/12/2019).
Laporan WSJ ini pun menuai polemik. Terlepas dari benar atau tidak laporan tersebut, sikap diam pemerintah terhadap isu Uighur perlu dikritik. Hingga hari ini tidak ada satupun kecaman yang keluar dari para elit penguasa, merespon penindasan yang menimpa etnis Muslim Uighur di Xinjiang. Sebaliknya, pemerintah terkesan diam bahkan semakin enjoy meningkatkan berbagai kerjasama dengan China.
Bertolak belakang dengan sikap publik Indonesia yang mendukung penuh keterlibatan pemerintah dalam menuntaskan nasib Muslim Uighur. Pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko justru semakin mengokohkan di sisi mana rezim ini sejatinya berdiri. Diberitakan cnnindonesia.com, 23/12/2019, Moeldoko menyatakan pemerintah Indonesia tak ikut campur urusan dalam negeri China terkait masalah muslim Uighur, di Xinjiang. Moeldoko menyebut masing-masing negara punya cara dalam mengatur urusan dalam negeri.
Pernyataan Moeldoko jelas sudah diprediksi jauh hari. Mengingat sebelumnya Moeldoko menerima kunjungan Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (17/12). Dalam kunjungan tersebut, Xiao Qian menjelaskan bahwa pemberitaan mengenai tindakan represif pemerintah China terhadap Muslim Uighur tidak benar. Ia menyebut persoalan di Xinjiang adalah upaya memerangi radikalisme dan terorisme.
Pernyataan Moeldoko tidak hanya mengecewakan, tapi juga semakin membuktikan bahwa Indonesia tidak berdaya di bawah tekanan ekonomi dan politik China. Benarlah apa yang disampaikan pengamat politik internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah pada medio Desember 2018, sejak pertama kali isu Uighur menjadi sorotan. Ia mengatakan ketergantungan ekonomi dan investasi Indonesia terhadap China dianggap menjadi salah satu alasan Jakarta tak bisa berbuat banyak untuk menekan Beijing soal dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnik Muslim Uighur di Xinjiang.
Ia menyebut ketergantungan ekonomi yang tinggi atas China di bidang perdagangan dan investasi, dalam konteks bilateral dan CAFTA, memaksa RI berpikir amat panjang dan mendalam sebelum membuat sebuah kebijakan atas praktik pelanggaran HAM yang terjadi di Xinjiang.