Euforia Tahun Baru, Hati-Hati Tasyabbuh
Detik-detik tahun baru masehi semakin dekat, hari-hari di tahun 2019 telah sampai dipenghujung tahun. Harapan esok semakin baik pasti setiap jiwakan selalu ada.
Namun bagaimana kita akan berharap menjadi lebih baik jika euforianya justru dengan berfoya-foya di tengah riuk pikuk kehidupan malam tahun baru?
Sudah lumrah memang tiap malam tahun baru, selalu akan ada perayaan meriah untuk menyambutnya. Suara riuh pikuk kehidupan malam berdengung, suara tiupan terompet dimana-mana dan kerasnya suara kembang api saling bersautan.
Kalian tau gak sih asal usul tahun baru ini berasal? Perayaan tahun baru sendiri ditetapkan oleh penguasa romawi julius caesar sebagai hari permulaan tahun baru semenjak abad ke 46 SM. Orang-orang romawi mempersembahkan tanggal tersebut kepada janus, yaitu dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan waktu. Dewa janus sendiri digambarkan memiliki dua wajah, wajah pertama menghadap ke masa depan dan wajah kedua menghadap ke masa lalu. Lalu perayaan tahun baru oleh kaum paganisme ini diadopsi oleh orang-orang kristen sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran yesus kristus. Oleh sebab itu tahun masehi hingga kini berkaitan erat dengan kristen.
Tuh kan ternyata perayaan malam tahun baru jauh sekali dengan kaitan kita sebagai kaum muslim. Ditambah lagi fakta-fakta di lapang yang mengerikan yang sempat terjadi ditiap malam perayaan tahun baru. Seperti pelepasan keperawanan (seks bebas), mabuk-mabukan dan narkoba, campur baur laki-laki perempuan tanpa batas, mengumbar aurat dimana-mana, lagu disko distel keras hingga semalam suntuk non stop.
Kehidupan liberal ala barat ini berlangsung satu malam dan katanya demi “penyambutan euforia tahun baru yang lebih baik”. Padahal perayaan semalam tadi tak ubahnya kita justru membuka lembaran baru dengan tambahan dosa-dosa yang semakin menebal kehitaman dalam catatan amal kita. Maka sejatinya perayaan tadi tak memiliki kolerasi dengan harapan kita tuk menjadi lebih baik. Bahkan perayaan tadi pun jusru semakin menjerumuskan kaum muslim agar mereka memiliki kebiasaan seperti kaum kafir.
Sikap ini pun disampaikan oleh Rasulullah Saw sebagai sikap menyerupai kaum lainnya, “Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (HR. Abu Daud)
Sikap kita tentulah tak perlu ikut-ikutan dalam perayaan mereka. Cukup memberikan toleransi kepada mereka, memberbaiki diri dan mempersiapkan agenda-agenda sholih demi menyambut hari esok lebih baik. Sebab jika kita tetap kekeh mengikuti perayaan kaum lain demi kata toleransi. Maka iman kita sebagai muslim dipertanyakan, masikah iman Islam ada pada hati kita? Tak cukuplah perayaan Islam sebagai perayaan hari kita?
Rasulullah Saw juga telah menjelaskan bahwa hari raya kaum muslim meliputi hari raya Idulfitri dan Iduladha, “Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian, idulfitri dan iduladha.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i).
Waallahu’allam
Azrina Fauziah
(Aktivis Dakwah dan Member Komunitas Pena Langit)