Menabur Garam di Atas Derita
Impor memang memikat. Solusi paling gampang saat stok barang belum memenuhi kebutuhan. Di bawah rezim Jokowi, impor pangan jadi langganan.
Taktik jitu pemerintah dalam mengatasi persoalan pangan. Saking demennya sama impor, pemerintah membuka kembali keran impor garam industri sebanyak 2,9 juta ton. Bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo meminta masyarakat tak meributkannya. Ia menilai impor garam masih perlu dilakukan karena industri manufakfur membutuhkan garam sebagai bahan baku.
Kebijakan pemerintah membuka kembali keran impor garam menuai polemik. Pasalnya, harga garam dalam negeri terjun bebas. Sejak 2019 hingga awal 2020, harga garam rakyat semakin anjlok. Di tahun 2019 lalu, impor garam sudah mencapai 2,2 juta ton.
Untuk hidup tenang di pemerintahan sekarang benar-benar susah. Kesabaran rakyat sedang diuji. Melihat kebijakan pemerintah yang begitu antipati terhadap derita wong cilik. Teringat Jokowi pernah berujar ia ingin Indonesia swasembada garam. Buktinya? Hanya pemanis di awal kepemimpinan. Rakyat pun menelan ludah lantaran diberi khayalan tentang swasembada garam.
Indonesia dengan kekayaan lautnya semestinya tak kesulitan terhadap produksi garam. Impor garam telah membuat petani garam lokal mati pelan-pelan. Kalaulah kualitas NaCL petani lokal kurang memenuhi standar, bukankah ini menjadi tanggungjawab negara melakukan peningkatan kualitas garam lokal? Jangan pula petani melulu yang dituntut ini itu. Sementara, peran negara hampir nihil dalam meningkatkan kualitas garam.
Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk mengatakan masalah kualitas menjadi kebutuhan utama bagi industri. Ini jadi hal pokok di samping harga impor yang kompetitif. Menurutnya, spesifikasi NaCl belum dipenuhi garam lokal. Garam rakyat yang diproduksi di Indonesia hanya memiliki kandungan NaCl sebesar 81%-96%. (Cnbcindonesia, 15/1/2020).
Jika memang serius ingin swasembada garam, mulailah membina petani garam lokal agar mereka mampu menghasilkan garam yang berkualitas. Meningkatkan kualitas petani garam jauh lebih utama dibanding hanya memberi solusi pramatis, yakni impor. Jangan hanya rakyat yang diminta bersaing secara sehat namun negara tak membekali mereka dengan keterampilan yang memadai.
Sadar atau tidak, kebijakan impor garam secara tidak langsung telah mengonfirmasi kegagalan pemerintah memberi kesejahteraan pada petani garam. Hati siapa yang tak teriris melihat petani garam meringis menahan pedih karena garam produksinya tak laku di pasaran. Tidakkah rezim ini sedikit saja mau memperhatikan derita yang dirasa oleh mereka? Petani juga manusia. Punya rasa, punya hati. Lantas, penguasa? Apa masih menyebut dirinya periayah? Sementara rakyatnya harus berjuang demi menghidupi anak istri secara mandiri. Negara seperti tak peduli.
‘Dinginnya’ sistem kapitalis merasuk sampai ke tulang sendi. Hingga habis nurani karena keserakahan diri penguasa. Logikanya, mana ada negara kepulauan malah justru kekurangan garam? Lucu kan! Mengelola negara dengan gaya kapitalis-liberal hanya akan membuat negeri ini seperti sapi perah. Rakyatnya tidak sejahtera, asing yang bergembira. Sistem payah ini sebaiknya dipensiunkan segera. Agar kelak tak nambah masalah. Kelola negara berdasar syariah secara kaffah, insyaallah pasti berkah.
Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban