SUARA PEMBACA

Akhir Cerita Pegawai Honorer

Pemerintah dan DPR sepakat untuk menghapus tenaga honorer, pegawai tetap, pegawai tidak tetap, dan lainnya dari organisasi kepegawaian pemerintah. Dilansir detik.com, Selasa 21/1/2020, Plt Kepala Biro Humas BKN Paryono menjelaskan, BKN tak mendata jumlah pegawai honorer. Dia bilang, BKN hanya mendata jumlah PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) ke depannya.

Namun demikian, dia menuturkan, pemerintah sebenarnya telah melarang pengangkatan honorer. Menurutnya, jika masih ada honorer kemungkinannya ialah mengikuti seleksi CPNS dan PPPK jika syaratnya memenuhi.

Dengan dihapusnya tenaga honorer, jumlah pengangguran terbuka akan meningkat. Ketika tenaga honorer dihapus, lalu diminta mengikuti CPNS, berapa banyak CPNS yang lulus seleksi? Nasib honorer pun akhirnya terkatung-katung. Tahun 2020 benar-benar tahun kepahitan bagi rakyat. Tarif naik, subsidi dicabut, dan honorer sedang mengundi nasib beruntungnya.

Tak bisakah pemerintah sedikit memberi kabar gembira? Atau sejenak membiarkan rakyat bernapas menghirup udara segar. Mengapa selalu membuat kebijakan yang membuat rakyat sesak napas? Berjibaku sendiri menyambung hidup tanpa negara peduli nasib mereka. Bukankah tugas negara memberikan pelayanan terbaik untuk rakyat? Bukankah sudah menjadi kewajiban negara menyediakan lapangan kerja bagi rakyat? Kebijakan rezim Jokowi sejauh ini tak berpihak pada kepentingan rakyat. Mereka tak ubahnya fasilitator bagi para cukong.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sudahlah berstatus honorer, gaji pun tak sebanding. Kali ini, honorer terncam berakhir dengan keputusan pemerintah dan DPR. Mau mengeluh kepada siapa lagi? Negara apatis, wakil rakyat pun sampai hati. Seolah honorer hanyalah beban bagi keuangan negara. Empati dan simpati seperti terkikis oleh jabatan dan kekuasaan.

Begini bila negara masih mempertahankan sistem yang diterapkan. Kepemimpinan yang amanah seperti barang langka. Susah dilakukan tatkala harta dan tahta dalam genggaman. Sistem kapitalisme memang mengajarkan seseorang bersikap acuh. Yang penting tuan kapital senang, kesusahan rakyat urusan belakangan.

Menjamurnya tenaga honorer sejatinya mengonfirmasi ketidakbecusan penguasa mengurus rakyatnya. Lulusan sarjana pun dibuat bingung setelahnya mereka mau kemana. Paling mentok ya mendaftar sebagai calon aparatur sipil negara. Sayangnya, kuota terbatas dan hanya yang lolos seleksi saja yang terekrut. Sisanya, entah mau kerja apa. Sementara, penguasa begitu mudah membuat kebijakan yang justru menguntungkan tenaga non pribumi. Belum lagi dihadapkan pada tantangan kenaikan berbagai tarif dan pencabutan subsidi. Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulab nasib rakyat di tangan rezim kapitalis liberal.

Akhir cerita honorer mungkin tak seburuk sekarang bila negeri ini mau menerapkan sistem Islam. Dalam Islam, kepentingan rakyat diutamakan. Negara melayani kebutuhan mereka. Butuh berapa lagi agar kita sadar bahwa menerapkan kapitalisme benar-benar tak ada untungnya. Sungguh melelahkan. Tidakkah kita merasa lelah dengan sistem ini? Hijrah ke Islam sajalah, insyaallah berkah.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button