Janganlah Menilai dengan Perasaan Tanpa Dasar Ilmu
Orang yang berjiwa lemah itu umumnya memandang dirinya tidak dengan pandangan orang lain terhadapnya. Orang yang berjiwa lemah selalu memandang dirinya sebagai orang-orang agung dan mulia. Padahal mereka sama sekali tidak memiliki sebab-sebab yang menyebabkan mereka dianggap orang-orang mulia.
Mereka menganggap diri mereka sebagai orang orang pandai. Namun, kebodohan tetap menyelimuti diri mereka, bagaikan awan tebal di hari yang selalu menyelubungi bumi dan menutup seluruh permukaan langit.
Mereka menganggap dirinya sebagai manusia, tetapi sifat-sifat kebinatangan telah menguasai kendali jiwanya. Mengendalikan hatinya, mendominasi wataknya, membiarkan nafsunya merusak akalnya, dan mencabik-cabik ciri atau sifat kemanusiaanya. Mereka selalu kebingungan dalam kesesatan dan terus-menerus berada dalam kegelapan kefasikan dan kemaksiatan.
Semua itu tiada lain karena mereka telah ‘tertipu oleh perasaan dirinya sendiri’ dan karena kecintaan nafsunya pada kebatilan.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
فالعاطفة إن لم تكن مبنية على العقل والشرع صارت عاصفة، تعصف بك وتطيح بك في الهاوية.
“Perasaan jika tidak dibangun di atas akal dan syari’at, maka dia akan menjadi badai besar yang akan menyeret dan menjatuhkan dirimu ke jurang kebinasaan yang sangat dalam.” (Majmu’ul Fatawa, jilid 25 hlm. 532)
Allah Ta’ala berfirman :
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ
“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.” (QS. Al-Anfal 8: Ayat 24)
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُم
“Maka tatkala mereka berpaling (dari Ketaatan), Allah memalingkan hati mereka” (QS. As-Saff 61: Ayat 5)
Allah Ta’ala telah menganugerahi manusia dengan perasaan dan kepekaan dengan hatinya. Orang menyebutnya sebagai hati atau hati nurani. Hati nurani ini memiliki suatu hubungan yang mengikatnya dengan otak yang merupakan pusat kendali nalar dan logika, di mana ketika manusia dihadapkan pada suatu masalah ia akan memperhitungkan dan memahaminya dengan logika dan perasaan. Namun, mereka yang keras hatinya hanya akan menggunakan akalnya saja tanpa nuraninya.
Hati dipercaya sebagai pusat kendali emosi, sementara otak sebagai pusat kendali segala aktivitas fisik dan nalar. Keduanya merupakan unsur terpenting yang mempengaruhi perilaku dan kebiasaan; termasuk menentukan apakah dia akan menjadi beriman atau kafir. Hati dan otak tidak akan bisa berfungsi secara maksimal tanpa ada saling interverensi antara keduanya. Pikiran akan jauh lebih tajam bila melibatkan emosi, dan emosi akan jauh lebih efektif bila melibatkan pikiran dan nalar. Adanya sifat saling menunjang antar kedua unsur kepribadian ini tergambar jelas pada firman Allah Ta’ala
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِى الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصٰرُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِى فِى الصُّدُورِ
“Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj 22: Ayat 46)
Itulah sebabnya hati kita gunakan tidak hanya sebagai perasaan namun juga alat untuk berfikir dan memahami terhadap kebenaran (al-haq) yang Allah Ta’ala berikan. Orang berakal itu bukan orang yang bisa membedakan yang baik dari yang buruk, tetapi yang bisa mengetahui mana yang lebih baik dari dua keburukan.
Wallahu a’lam
Abu Miqdam
Komunitas Akhlaq Mulia