Rizal Ramli dan Marzuki Alie Sepakat Proyek Ibu Kota Baru Harus Ditunda
Jakarta (SI Online) – Kengototan pemerintah dengan proyek ibu kota baru dan kurang berpihaknya kepada rakyat kecil ditakutkan bisa mengekskalasi krisis ekonomi menjadi krisis politik dan sosial.
Akibat pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), diperkirakan petumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami kontraksi. Hal ini sejalan dengan prediksi berbagai lembaga dunia, misalnya Oxford Economics, memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh minus 6,1 persen.
“Krisis 2020 dapat dilalui tergantung beberapa hal, antara lain pertama, seberapa lama pandemi bisa diselesaikan. Kedua, seberapa banyak korban jatuh di Indonesia. Ketiga, seberapa efektif kebijakan pemerintah mengatas pandemi ini dan dampaknya seperti jutaan UMKM yang ikut terdampak”, kata mantan Ketua DPR Marzuki Alie dalam Seminar Nasional Online Seri Covid-19 dengan tema “Outlook Ekonomi 2020-2024 : Harapan dan Kenyataan Ekonomi Indonesia di Tengah Pandemi COVID-19”, Kamis (18/6/2020).
Seminar ini diadakan oleh Pascasarjana Institut STIAMI bekerjasama dengan Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia (APPERTI), dan Center for Public Policy Studies (CPPS). Diskusi dimoderatori oleh Dr. Taufan Maulamin, Direktur Pascasarjana Institut STIAMI.
“Seberapa jauh pemerintah berani untuk menunda proyek-proyek yang memberikan return tidak dalam waktu singkat, sehingga mengurangi beban fiskal dan defisit yang terus berlangsung,” ungkap Dewan Pengawas APPERTI.
Senada dengan Marzuki, Prof. Dr. Carunia Mulya Firdausy, Professor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Dosen Pascasarjana Institut STIAMI memaparkan dampak Covid-19 pada ekonomi makro.
Pertumbuhan ekonomi Triwulan I 2020 misalnya hanya tumbuh 2,97% (yoy) lebih rendah dari perkiraan Bank Indonesia (BI) di 4,4% (yoy). Di lain pihak, aggregate demand juga anjlok. Konsumsi rumah tangga menurun menjadi 2,84% (yoy), lebih rendah dibandingkan capaian triwulan IV 2019 sebesar 4,97% (yoy). Investasi tumbuh melambat sebesar 1,7% (yoy), APBN defisit mencapai 6,34 persen PDB atau setara Rp1.039 Triliu. Dan, ekspor neto tumbuh 0,24 % dan impor kontraksi 2,19 % (yoy).
Tunda Proyek Ibu Kota Baru
Soal penundaan proyek-proyek ini juga menjadi salah satu perhatian penting Rizal Ramli, pengamat ekonomi politik yang juga mantan menteri di era Presiden Abdurrahman Wahid dan Joko Widodo periode pertama.
“Berhentikan dulu proyek-proyek yang besar-besar, nanti kalau ada uang kita mulai lagi, termasuk ibu kota baru yang kagak jelas itu”, kata Rizal Ramli dalam seminar yang sama.
Soalnya, saat ini menurutnya kita sudah masuk ke krisis ekonomi. Jikalau Pemerintah terkesan abai terhadap kesulitan yang dihadapi masyarakat, bukan tidak mungkin akan berkembang menjadi krisis sosial dan politik.
Tidak percaya? Rizal Ramli berkisah, pada krisis 1998 pun, pihaknya sudah meramalkan sejak 1996. Dan, ramalaannya itu dibantah oleh menteri keuangan, gubernur Bank Indonesia (BI) dan pejabat lainnya saat itu.
Keberpihakan pemerintah kepada sektor riil menjadi kuncinya. Saat ini menurutnya, justeru pemerintah kurang menunjukkan keberpihakan kepada usaha kecil. Dilihat dari statistik kredit perbankan misalnya.
“Dari seluruh bank kita kredit kecil hanya 17 persen, yang besar 80 persen. Ya harusnya kita geser dari 17 persen menjadi 20-25 persen dalam setahun. Karena, kalau yang besar-besar, banyak caranya dia bisa mendapatkan investasi, pinjaman luar negeri, terbitkan obligasi, dan lain-lain,” kata Rizal Ramli menjelaskan.
Karena justru, pada krisis ekonomi 1998, usaha kecil dan menengah (UKM) justru menjadi penyelamat ekonomi. Sedangkan saat ini, UKM juga sudah terimbas krisis dan goyang. Hal ini menurutnya sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang rajin membuat utang baru.
Intinya Soal Keberpihakan Kepada Rakyat
Krisis hari ini dimulai dengan utang pemerintah yang kebanyakan. Antara lain lewat penerbitan surat utang. Penerbitan surat utang yang jor-joran menurutnya berimbas kepada tertariknya dana perbankan dan dana masyarakat ke surat utang itu. Alhasil, dana yang tadinya bisa diputar ke sektor riil oleh perbankan, menjadi berkurang.
Yang terjadi justru, gagal bayar di lembaga keuangan non bank, seperti asuransi, sekuritas. Rizal menduga, gagal bayar tadinya Rp150 Triliun, ternyata gagal bayarnya Rp400-500 Triliun. Hal ini termasuk yang terjadi di Asabri, Jiwasraya, dan lain-lain.
Bahkan, sekarang menurutnya sudah menggerogoti bank-bank tier 3. “Sekarang mau menarik uang Rp100 juta aja susah”, kata Rizal mengilustrasikan.
Supaya tidak dianggap sekadar mengkritik, Rizal menawarkan solusi. “Sektor riil adalah kepala dari naga, kalau itu hancur, yang lain juga. Ini terbalik dengan ekonom neoliberal yang memilih mengetatkan anggaran, agar bisa membayar utang ke kreditor. Kalau saya, saya balik, pompa eknomi supaya ekonomi bergerak, sehingga bisa bayar utang ke kreditor”, kata Rizal menjelaskan.
Ia menyontohkan di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Rizal menyarankan kepada Gus Dur untuk menaikkan gaji pegawai negeri, TNI,dan Polisi sebanyak 125 persen. Awalnya Gus Dur tidak setuju, namun setelah dijelaskan akhirnya setuju.
“Kita menaikkan gaji mereka 125 persen, pasti 99 persen mereka belanjakan, sektor riil pun bergerak kembali. Tujuannya adalah memompa daya beli golongan menengah ke bawah, berbeda engan hari ini, yang kecil-kecil malah dikenakan pajak terus,” kata Rizal mengisahkan.
Alhasil, GINI Index modern terendah justeru terjadi di zaman Gus Dur. “Jumlah lapangan kerja diciptakan mencapai 1,8 juta orang per tahun. Sedangkan di pemerintahan Jokowi saat ini hanya 300 ribu orang,” kata Rizal membandingkan.
Apa yang membedakannya? Menurutnya adalah keberpihakan kepada rakyat biasa. []