Waspadai Istilah Islam Moderat
Bila tidak dapat menjadikan umat Islam meninggalkan agama Islam, maka yang penting bagaimana umat Islam tidak menerapkan syariat Islam. (Christian Snouck Hurgronje (1857-1936)
Apa yang dicita-citakan Snouck Hurgronje, orientalis asal Belanda akhirnya terwujud. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Animo kaum muslim terhadap ajarannya mulai luntur. Menganggap ajaran Islam yang murni itu tampak mengerikan, apalagi Islam politik. Seolah menjadi racun yang mematikan.
Akhirnya zona nyaman dan aman jadi pilihan, dengan menjauhkan Islam dari kehidupan. Terpisah, tak ada campur tangan agama dalam kenegaraan. Begitulah konsep Islam Moderat. Islam moderat diklaim sebagai Islam yang senafas dengan Al-Quran dan As-Sunah. Juga sebagai pilihan untuk mengatasi persoalan umat.
Istilah Islam moderat jadi “dagangan� yang laris manis di pasaran. Siapapun memasarkannya, dari “ulama� hingga media massa. Sayangnya, banyak orang menerima istilah tersebut secara taken for granted. Sebagian besar memahami Islam moderat adalah Islam yang toleran, ramah, terbuka, menerima nilai-nilai universal demokrasi. Bahkan bersahabat dengan peradaban Barat. Islam moderat seringkali dinegasikan dengan Islam radikal (red: murni).
Banyak yang terbuai dengan istilah ini. Dijajakan secara massif hingga melembaga dalam ketatanegaraan. Ada pendikotomian antara urusan negara dengan urusan agama. Keduanya tak boleh dicampuradukkan. Hingga muncul propaganda, “Islam itu suci, politik itu kotor. Tak boleh yang suci dicampurkan dengan yang kotor�. Akhirnya tak sedikit kaum muslim latah, turut menyemarakkan propaganda ini.
Hakikatnya, Islam tak pernah mendikotomikan antara politik dan agama. Karena politik merupakan bagian dari ajaran Islam. Di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan: “Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang�. Jelas, perkataan tersebut bukan sekedar nilai moral publik atau etika sosial semata yang dilembagakan, melainkan keharusan peran agama dalam ketatanegaraan.
Berbagai istilah, salahsatunya Islam moderat merupakan desain Barat untuk mencegah kebangkitan Islam. Strategi ini telah didesain secara apik untuk terus meninabobokan raksasa yang tertidur, bahkan melumpuhkan hingga tak mampu bangkit kembali.
Entah sengaja dibocorkan atau tidak, dalam dokumen Rand Corporation yang bocor tahun 2003-an, jelas bahwa upaya untuk menciptakan konflik internal dalam tubuh kaum muslim telah dipetakan. Inti hajat mereka yakni mempeta-kekuatan (mapping), memecah belah serta menciptakan konflik internal di dalam tubuh kaum muslim melalui berbagai pola, program bantuan, hingga berkedok capacity building, dsb.
Alih-alih menjaga perdamaian dunia dengan konsep Islam moderatnya. Nyatanya Barat tengah melunakkan kaum muslim untuk menerima konsep-konsep yang berbenturan dengan Islam. Sulit rasanya kaum muslim kembali digdaya, jika ajarannya justru tak terejawantah dalam kehidupan.
Sejarah mencatat, kemuliaan kaum muslim justru hadir saat mereka menjadikan Islam hakiki sebagai asas bagi kehidupan mereka. 1300 tahun lamanya, Islam menjadi mercusuar. Bukan tidak mungkin kaum muslim kembali mulia, jika Islam diinternalisasikan dalam kehidupan. Syariat Islam dilaksanakan secara paripurna, tanpa terkecuali. Gaungnya akan kembali terdengar dan diamnya akan kembali disegani. Wallahu a’lam bish-shawab
Rismayanti Nurjannah
Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Anggota Revowriter Tangsel