Ganti Istilah, Solusikah?
Pandemik covid-19 telah meruntuhkan hegemoni kapitalisme di segala lini kehidupan. Ekonomi diambang krisis. Kesehatan sedang masa kritis. Dunia politik pun tengah berisik. Sebab, kebijakan menangani pandemik covid banyak dikritik.
Kepanikan bisa membuat orang bimbang. Mencari solusi untuk turunkan kurva covid tapi tak kunjung menuai hasil yang diinginkan. Dulu tak ingin lockdown atau karantina wilayah. Dipakailah istilah PSBB. Setelah kondisi ekonomi negara tak pasti, PSBB dilonggarkan. Setelah longgar, angka covid malah meningkat tajam.
Inilah akibat kebijakan yang tak matang. Sekarang mau ganti istilah ODP, PDP, dan OTG. Apa pemerintah tak pernah berpikir solusi sistematis untuk masalah covid? Mengapa sibuk utak atik istilah dibanding selesaikan masalah? Rakyat sudah bingung dengan berbagai istilah. Dulu new normal, direvisi menjadi adaptasi kebiasaan baru. Maunya apa sih? Gonta ganti melulu.
Dilansir dari detik.com, 14/7/2020, pakar bahasa menyebut penggantian istilah orang dalam pemantauan (ODP) hingga pasien dalam pengawasan (PDP) semakin tidak jelas dan menakutkan. Penggantian istilah diterbitkan oleh Menkes Terawan Agus Putranto dalam peraturan baru mengenai pedoman pencegahan virus Corona atau COVID-19 di Indonesia.
“Dari segi bahasa semakin tidak jelas dan menakutkan. Dikatakan tidak jelas, karena pendekatan dan istilah medis (suspek) dikaitkan dengan riwayat perjalanan,” ujar Pakar Bahasa Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Autar Abdillah, Selasa (14/7/2020).
Istilah baru yang dikenalkan Menkes itu terasa mbulet. Tak bisa dipahami oleh masyarakat umum sebagaimana istilah sebelumnya. Ada suspek, probable, konfirmasi, kontak erat, pelaku perjalanan, discarded, selesai isolasi, dan kematian. Jangan tanya itu maksudnya apa. Karena saya sendiri juga heran dengan mereka. Kasus naik kok solusinya ganti istilah? Dimana relevansinya? Adakah urgensitasnya?
Perbaruan istilah dalam pandemik covid-19 tidak relevan dengan masalah utama. Transmisi covid masih terjadi. Klaster-klaster baru bermunculan. Setelah pasar, pesantren, lembaga pemerintahan, Secapa TNI AD yang tembus 1.262 kasus, RRI Surabaya, dan lainnya. Minimnya transparansi menjadi salah satu potensi penyebaran covid meluas. Pemerintah mengklaim transparansi data dan pelacakan kontak bisa menimbulkan kepanikan dan keresahan masyarakat. Bukankah sikap tidak terbuka terhadap data penanganan covid justru meningkatkan resiko penularan?
Apa prestasi pemerintah selama mengatasi pandemik? Hingga detik ini hampir belum terasa bagi rakyat. Yang ada rakyat bagaikan kelinci percobaan. Begini jadinya bila mereka diberi mandat tapi tak memiliki kompetensi dan kecakapan sebagai negarawan. Menteri asal bunyi, penguasa tak mahir, dan komunikasi publik pejabat tak bijak .
Urus negara itu bukan coba-coba. Sudahlah menghabiskan banyak dana, kerja tak jelas pula. Dipilih rakyat bukan untuk menyusahkan mereka. Maunya menang suara, setelah duduk di singgasana, kacang lupa kulitnya. Rakyat terabaikan.
Semoga pandemik segera berakhir, bersama dengan berakhirnya kekuasaan oligarki. Semoga Allah ganti ujian ini dengan hadirnya sistem Ilahi yang menaungi. Bersama pemimpin negeri yang bertakwa dan amanah.
Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban