Jakarta (SI Online) – Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) merespon pertanyaan masyarakat mengenai biaya sertifikasi halal.
Dalam keterangan tertulisnya kepada Suara Islam Online, Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim mengakui, seperti halnya lembaga sertifikasi lain, misalnya sertifikasi mutu maupun sertifikasi lainnya, dalam menjalankan tugas dan fungsinya LPPOM MUI memang mengutip pembiayaan dari perusahaan yang mengajukan sertifikasi halal.
“Dengan besaran dan skema yang telah disepakati oleh pihak perusahaan yang dituangkan dalam akad, jadi bersifat sukarela,” ungkap Lukmanul Hakim, Rabu 15 Juli 2020.
Lukman tidak menyebut angka tetap mengenai biaya tersebut. Namun dia menjelaskan, biaya sertifikasi itu meliputi biaya pemdaftaran, biaya audit, analisis laboratorium (jika diperlukan analisis laboratorium), serta biaya sosialisasi dan edukasi halal.
“Komponen biaya tersebut sudah diketahui oleh pihak pemohon sertifikat halal sejak awal melakukan pendaftaran secara online melalui Sistem Sertifikasi Online LPPOM MUI (Cerol SS 23000),” ungkap Ketua MUI Bidang Perekonomian ini.
Lukman menambahkan, basis perhitungan biaya sertifikasi halal dilakukan per sertifikat halal, bukan jumlah item produk.
“Penjelasan ini perlu disampaikan mengingat masih ada sementara pihak yang berasumsi bahwa sertifikasi halal dihitung berdasarkan jumlah produk seperti halnya label cukai (misalnya cukai minuman, rokok, dan sejenisnya),” jelasnya.
Baca juga: Direktur LPPOM MUI: Banyak yang Salah Menduga Soal Uang Sertifikasi Halal
Sebagai ilustrasi, lanjut Lukman, hingga Juni 2020 LPPOM MUI telah mengeluarkan sebanyak 2.662 Sertifikat Halal bagi 2.180 perusahaan, dengan jumlah produk mencapai 125.703 produk. Artinya, biaya sertifikasi halal yang diterima oleh LPPOM MUI adalah berasal dari 2.662 sertifikat halal, bukan dari 125.703 produk.
Mengenai pajak lembaga yang dipimpinnya, Lukman mengatakan, LPPOM MUI telah pula ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), sehingga LPPOM MUI harus dan telah memenuhi semua aturan dan ketentuan perpajakan yang berlaku, termasuk Laporan Keuangan LPPOM MUI yang harus diperiksa oleh akuntan publik.
Sebelumnya, Lukman juga menjelaskan mengenai sejarah perjalan sertifikasi halal oleh LPPOM MUI.
Sertifikasi halal oleh MUI bermula dari penugasan pemerintah kepada MUI untuk meredakan kasus lemak babi yang terjadi pada tahun 1988. Untuk melaksanakan tugas tersebut sekaligus menenteramkan batin umat Islam dalam mengkonsumsi produk pangan olahan, MUI membentuk lembaga semi otonom yakni Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI) pada 6 Januari 1989. Tugas utama LPPOM MUI adalah melakukan pemeriksaan kehalalan produk.
Ditegaskan, karena LPPOM MUI bukanlah instansi atau lembaga pemerintah, maka dalam menjalankan amanah melakukan pemeriksaan kehalalan produk, LPPOM MUI tidak mendapatkan pembiayaan pemerintah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, Lukman mengakui, menjalankan tugas dan fungsi sebagai lembaga pemeriksa halal, utamanya untuk pembiayaan sertifikasi halal bagi pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM), LPPOM MUI kerap menjalin kerja sama dengan instansi pemerintah dalam bentuk fasilitas pembiayaan.
red: shodiq ramadhan