LAPORAN KHUSUS

Syekh Ali Abdur Raziq: Ulama Pertama Penentang Khilafah

Syekh Ali Abd ar-Raziq adalah ulama Muslim pertama yang memberikan pernyataan tertulis mengenai penolakannya terhadap khilafah, dan mendorong kaum Muslimin untuk mengadopsi sekularisme dan nasionalisme sebagai pedoman hidup mereka.

Memang, pada waktu bukunya yang berjudul al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Prinsip-prinsip Pemerintahan) diterbitkan di Kairo pada tahun 1925, Ziya Gokalp dan Musthafa Kemal Attaturk dari Turki serta Luthfi as-Sayyid dan Sa’ad Zaghlul di Mesir telah berhasil menyelesaikan pekerjaan besar mereka, yaitu melenyapkan seluruh jejak pengaruh Islam dalam sistem pemerintahan di negeri-negeri mereka. Namun, satu hal yang pasti, bahwa para pemimpin sekular tersebut tidak memiliki kaitan dengan Islam dan dengan segala konsep yang muncul dari Islam.

Sementara itu, sosok Syekh Ali Abd ar-Raziq merupakan suatu keunikan; mengingat bahwa ia adalah seorang yang alim, tetapi justru melontarkan wacana bahwa kaum Muslim sudah semestinya mengadopsi sistem politik Eropa; dan bahkan menyatakan bahwa “Islam yang sejati” sama sekali tidak berkaitan dengan negara!

Lahir pada 1888, Syekh Ali Abd ar-Raziq –sebagaimana saudaranya– menjadi murid Syekh Muhammad Abduh dan mendapatkan pendidikan di Universitas al-Azhar, setelah beberapa waktu lamanya belajar di Universitas Oxford, Inggris. Berbeda dengan saudaranya, Musthafa, yang pernah tinggal di Paris dan menjadi Rektor Universitas al-Azhar dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1947, ia memainkan peranan aktif dalam berbagai urusan umum untuk memodernisasi universitas. Namun setelah kontroversi sengit akibat penulisan bukunya itu mereda, Syekh Ali Abd ar-Raziq menghabiskan sisa hidupnya dalam kondisi yang tidak jelas.

Pada 1925, kejayaan politik kaum Muslim terpuruk hingga ke lubang yang paling dalam. Sekalipun ada negeri-negeri Muslim yang tidak dijajah secara langsung oleh negara-negara Eropa, namun secara tidak langsung kendali politik dan ekonominya tetap saja berada dalam genggaman penjajah. Setelah kekalahan telak yang dialami Turki pada Perang Dunia I, Musthafa Kemal Attaturk meruntuhkan kekuasaan Bani Utsmaniyah dan melenyapkan sistem Khilafah. Maka kemudian diadakan sebuah kongres mengenai Khilafah di Kairo pada bulan Mei 1926 oleh sekelompok ulama Mesir yang diketuai oleh Rektor Universitas al-Azhar. Sekalipun secara aklamasi para ulama tersebut sepakat bahwa Khilafah adalah bagian integral dan tak bisa dipisahkan dari Islam, namun karena keadaan pada waktu itu tidak memungkinkan mereka membentuk kekuasaan, maka tidak ada yang dapat dilakukan kecuali menunggu terbentuknya institusi tersebut pada saat yang tepat, yaitu ketika ada seorang Khalifah yang dipilih oleh sejumlah perwakilan kaum Muslimin.

Al-Islam wa Ushul al-Hukm merupakan produk dari suasana muram akibat sikap pesimistik dan perasaan rendah diri para cendekiawan Muslim waktu itu, yang merupakan dampak imperialisme asing. Namun demikian, bagaimana mungkin ada seorang ulama yang mempertanyakan perlunya seorang Khalifah atau bahkan lebih jauh lagi mempertanyakan eksistensi Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam? Meskipun banyak dalil qath’i yang menolak pendapatnya, Ali Abd ar-Raziq tetap saja mengingkari bahwa Al-Qur’an dan al-Hadits secara eksplisit menjelaskan tentang perlu tegaknya Khilafah! Dengan penuh semangat, ia menolak pendapat bahwa Rasulullah saw pernah menegakkan kekuasaan politik, dengan mengatakan bahwa tugas beliau semata-mata bersifat spiritual. Ia menulis:

“Dari sisi politik, Rasul telah mendapatkan peran sebagaimana yang dimiliki oleh seorang penguasa, tetapi beliau memiliki peran khusus yang tidak dimiliki oleh orang lain. Termasuk dalam bagian tugas beliau adalah berkaitan dengan jiwa yang berdiam di dalam raga dan menyingkap tabir untuk membuka hati yang ada di dalam dada. Beliau mempunyai tugas untuk membuka hati para pengikutnya, sampai beliau dapat mencapai pusat cinta dan benci, tempat tumbuhnya kebaikan dan keburukan, muara gerak hati, tempat persembunyian berbagai godaan, pangkal niat, dan gudang akhlak . . . . Risalah kenabian menuntut Rasul agar dapat menjalin hubungan sejati dengan jiwa manusia, dengan hubungan pemeliharaan (ri’ayah) dan perlindungan (tadbiir). Dan pengelolaan hakiki atas hati-hati mereka dengan pengelolaan tiada batas.”

“Sebagai seorang Rasul, Muhammad memiliki … kepemimpinan spiritual yang bersumber dari hati yang tulus dan berserah diri secara total; tidak seperti kepemimpinan politik yang bersandar pada ketundukan jasmani secara paksa. Tujuannya bukanlah untuk mengatur kepentingan hidup di dunia, tetapi untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan … Dengan demikian bentuk-bentuk pemerintahan tidak berhubungan dengan kehendak Tuhan; Tuhan telah menyerahkan urusan pemerintahan kepada akal pikiran manusia. Lebih dari itu, tidak perlu lagi menyatukan ummat dalam satu wadah politik. Hal itu merupakan suatu yang sungguh mustahil; dan kalaupun bisa disatukan apakah akan membuahkan kebaikan? Tuhan telah menghendaki adanya perbedaan yang alamiah antar berbagai suku dan golongan, agar terjadi perlombaan untuk menyempurnakan peradaban. Islam tidak mengakui keunggulan suatu bangsa, bahasa, negeri, atau suatu generasi, kecuali atas ketaqwaannya. Kebetulan saja, masyarakat primitif pada waktu itu adalah bangsa Arab . . . Bukti bahwa Rasul tidak mendapat tugas membentuk sebuah Negara Islam adalah bahwa beliau tidak memberikan petunjuk-petunjuk kepada kaum Muslim untuk melestarikan daulah sepeninggal beliau . . . Ketika Khalifah pertama, Abu Bakar, diangkat, maka jelas terlihat bahwa pengangkatan itu merupakan proses politik. Dalam proses itu terlekat semua komponen daulah, yang ditegakkan atas dasar kekuatan dan pedang. Daulah tersebut adalah sebuah daulah Arab yang dibangun atas dasar keagamaan. Memang dalam praktiknya daulah tersebut memiliki pengaruh besar dalam perkembangan dan penyebaran Islam, akan tetapi pada hakikatnya dimaksudkan untuk kepentingan-kepentingan bangsa Arab sendiri . . . Kelompok-kelompok yang menolak kepemimpinan Abu Bakar dituduh sebagai orang-orang yang murtad. Sejak saat itulah anggapan yang keliru tentang Khilafah berakar, yang kemudian dimanfaatkan oleh penguasa-penguasa otoriter untuk mengamankan kekuasaannya . . . Kepemimpinan Khalifah merupakan hal yang membahayakan Islam. Khalifah merupakan ‘bencana bagi kaum Muslim, serta sumber kebobrokan dan kebejatan’ . . . Islam sesungguhnya terlepas dari konsep Khilafah sebagaimana dikenal oleh kaum Muslim pada umumnya. Agama tidak ada hubungannya dengan suatu bentuk pemerintahan tertentu, dan tidak ada aturan dalam Islam yang melarang kaum Muslim untuk merobohkan sistem lapuk yang merendahkan martabat, untuk kemudian membangun kaidah-kaidah kekuasaan dan sistem pemerintahan yang sesuai dengan semangat manusia dan pengalaman mutakhir yang telah teruji ketangguhannya . . .”

Dalam analisisnya seputar perjalanan Khilafah, Ali Abd ar-Raziq tidak hanya membuat kesalahan dengan menyatakan ungkapan-ungkapan kasar yang berlebihan. Tetapi juga, deskripsi yang ia berikan sama sekali bertolak belakang dengan seluruh fakta sejarah. Padahal, Al-Qur’an telah menyatakan:

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. al-Maidah [5]: 50)

Atau firman Allah dalam surat al-Baqarah yang menyatakan bahwa Rasulullah saw dan para pengikutnya adalah wakil (khalifah) Allah di muka bumi.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button