PSBB Berpolemik Kapan Berakhir?
Langkah berani Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menuai polemik. Banyak yang mendukung. Tidak sedikit yang melempar kritik dan sindiran. Kebijakan Pak Gubernur dianggap opsi buruk, karena membuat ekonomi tambah sengkarut. Padahal secara logis, inilah pilihan yang semestinya diambil sejak awal untuk menghentikan sebaran virus.
Sebagaimana diberitakan antaranews.com, 11/9/2020, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada 14 September 2020. PSBB dipilih setelah melihat kasus positif Covid-19 cenderung terus naik. “Rem darurat” pun ditarik untuk menghentikan PSBB Transisi pada Rabu, 9/9, dan menggantinya dengan kebijakan PSBB Jakarta yang diperketat.
Menurutnya, ada tiga indikator yang sangat diperhatikan oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai alasan mengambil opsi ini, yaitu 1) tingkat kematian, 2) ketersediaan tempat tidur isolasi dan ICU khusus Covid-19 dan 3) tingkat kasus positif di Jakarta.
Langkah Pemprov DKI Jakarta ini ternyata tidak mulus. Pak Gubernur diberitakan dikepung kritikan dan sindiran dari tiga menteri Jokowi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto misalnya, menyatakan pengumuman Pak Gubernur, yang ia sebut sebagai “rem mendadak” telah menimbulkan ketidakpastian pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Senada dengan Kemenko Perekonomian, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menyebut penerapan PSBB dapat membuat target utilisasi pabrik di tahun 2020 tidak tercapai. Sementara Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan jika PSBB membuat jalur distribusi terhambat, itu bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi. (tirto.id, 11/9/2020).
Tampak kritik pedas para menteri Jokowi hanya bertumpu pada kepentingan ekonomi. Padahal jauh hari sebelum badai Covid-19 kian dahsyat, perekonomian Indonesia memang sudah terpuruk. Pernyataan para menteri Jokowi juga semakin membuktikan bahwa pernyataan presiden untuk fokus pada sektor kesehatan hanya lips service. Alhasil, nyawa rakyat kembali menjadi tumbal kepentingan kapitalis.
Kepungan kritik yang mendera Pak Gubernur juga menunjukkan kelemahan leadership pemimpin negeri ini. Bagaimana bisa antara pemerintah provinsi dan pemerintah pusat beda suara? Alih-alih didukung dan diapresiasi, justru dihujani kritik dan sindiran. Seolah tanpa sadar menunjukkan realita kegagalan sang penguasa negeri mengelola anggaran, menyiapkan nakes dan faskes untuk melawan pandemik.
Daripada melontarkan kritik dan sindiran, sungguh lebih bijak jika penguasa dan para menterinya fokus pada penyelematan nyawa rakyat. Ekonomi dapat diperbaiki, sedangkan nyawa jutaan rakyat tidak dapat dicari ganti. Satu nyawa rakyat saja berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. kelak. Bagaimana dengan ratusan nyawa yang hilang dan jutaan nyawa lainnya yang berada dalam bayang-bayang kematian?
Sejak awal tuan penguasa sudah salah langkah. Menolak lupa alotnya pemerintah dalam memberlakukan karantina wilayah di DKI Jakarta saat awal wabah. Padahal saat itu, DKI Jakarta menjadi episentrum menyebaran Covid-19. Andai pemerintah tidak gagap, bertindak cepat dan mementingkan keselamatan rakyat, mungkin hari ini rakyat dapat bernafas lega.
Pada saat itu, tuan penguasa juga menutup telinga terhadap saran ahli untuk menerapkan lockdown. Sebaliknya lebih memilih opsi PSBB tanpa memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Alhasil, ekonomi negara oleng, ekonomi rakyat pun semakin memburuk. Karena penguasa dihadapkan dengan minimnya anggaran, gejolak utang, penyerapan anggaran yang bermasalah dan badai resesi ekonomi.
Penerapan new normal dengan dalih penyelamatan ekonomi, tidak hanya menunjukkan watak penguasa yang tidak memiliki sense of crisis. Namun juga berdampak pada lonjakkan kasus positif dan hilangnya kepercayaan dunia terhadap penanganan Covid-19 di Indonesia. Padahal saat itu upaya 3T belum maksimal dan optimal. Kurva pun belum melandai. Alhasil, kepentingan rakyat terabaikan dan nyawa rakyat kembali jadi tumbal.