Narasi Jahat Hijab Anak: Antara Kebebasan dan Islamofobia
DW Indonesia membuat kontroversi. Jejaring media bercentang biru milik Deutsche Welle (Gelombang Jerman) ini, mengunggah video tentang dampak buruk jilbab pada anak, di akun Twitternya @dw_indonesia pada Jumat (25/7). DW Indonesia juga menulis “Apakah anak-anak yang dipakaikan #jilbab itu memiliki pilihan atas apa yang ingin ia kenakan?”.
Video berdurasi 3 menit 31 detik ini, dibuka dengan frame dua orang Muslimah yang mengajari anak perempuannya memakai jilbab dan kerudung dari kecil. Keduanya juga menyebut tentang harapan dan keinginan mereka agar anaknya terbiasa memakai hijab sebagai identitas seorang Muslim.
Dalam video tersebut, DW Indonesia juga mewawancarai psikolog Rahajeng Ika. Dalam komentarnya, ia mengatakan “memaksa” anak memakai jilbab dari kecil, berdampak psikologis menimbulkan masalah kebingungan identitas diri, ketika berinteraksi sosial dengan teman-temannya yang memiliki pandangan berbeda.
Baca juga: Anggota Komisi VIII: Framing DW Indonesia Soal Jilbab Sangat Berbahaya
Tokoh feminis Nong Darol Mahmada pun angkat bicara dalam video ini. Menurutnya, ada kekhawatiran terbentuknya pola pikir eksklusif, jika anak-anak dari kecil sudah ditanamkan berbeda dari yang lain. Padahal semestinya di masa pertumbuhan anak, anak dibiarkan dulu menjadi siapa pun, menjadi apa pun.
Jadi menurutnya, anak tidak harus berbeda dengan anak-anak yang lain. Namun, ketika anak diberi identitas, misalnya jilbab sebagai muslimat. Maka dengan sendirinya akan mengeksklusifkan dirinya.
Kental sekali kampanye kebebasan ala kaum feminis di video ini. Kental pula tercium aroma Islamofobia ala kaum sekuler-liberal. Tidak heran bila postingan tersebut dibanjiri hujatan dan kritikan. Sebab videonya telah “mengusik” persoalan pelajaran akidah kepada anak-anak perempuan yang menggunakan jilbab dan kerudung yang diajarkan oleh orang tua mereka.
Kaum feminis liberal berbicara tentang kebebasan untuk bisa atau tidak bisa memilih. Mungkin dia lupa, sejak lahir dia tidak bebas memilih warna mata, rambut dan kulit. Dia tidak bebas memilih bangsa, etnis, suku dan rasnya. Dia tidak bebas memilih jadi laki-laki atau perempuan. Dia tidak bebas memilih dari rahim ibu yang seperti apa ia dilahirkan. Semua itu sudah ditetapkan oleh Allah SWT, Al-Khaliq Al-Mudabbir.
Manusia memang memiliki kehendak bebas yang diberikan oleh Sang Penciptanya. Namun, manusia juga dibekali akal untuk membedakan mana yang haq dan mana yang bathil dan memilih mana jalan kebaikan, mana jalan keburukan. Sebagaimana firman Allah SWT., “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan).” (TQS. Al-Balad [90]:10).
Sesuai fitrahnya, akal senantiasa cenderung pada yang haq. Namun hawa nafsu manusialah yang membuat mata dan hatinya menjadi buta. Padahal sungguh telah Allah SWT. peringatkan bahwa setiap pilihan manusia pasti dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sebagaimana peringatan Allah SWT, “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (TQS. Al-Muddatstsir [74]:38).