Bahaya Sekulerisasi Kampus
Ade Armando kembali mengedarkan videonya dan menyatakan bahwa ia dulu adalah aktivis Muslim. Bahkan ia adalah penggagas pelaksanaan seminar Percakapan Cendekiawan Tentang Islam di UI tahun 1984. Ia memilih Muzammil Yusuf sebagai Ketua Panitia karena Muzammil adalah mahasiswa baru UI. Menurutnya, ia mempelopori pengadaan musholla di Fisip UI.
Banyak hal yang diceritakan tentang masa lalu Ade sebagai aktivis Muslim. Termasuk ia yang mempelopori terbentuknya Majelis Sinergi Kalam ICMI, aktifnya menulis tentang isu-isu keislaman di Republika dll.
Tentu kita bersyukur dengan masa lalu Ade yang cukup bagus itu. Pertanyaannya kenapa dia sekarang kok menjadi garda depan penentang Islamisasi? Ada apa? Kenapa Ade sekarang mendukung LGBT, membela sekulerisme-pluralisme agama-feminisme-liberalisme dan lain-lain.
Saya dulu terus terang menikmati tulisan empuk Ade yang kritis terhadap seks bebas, liberalisme dan lain-lain di Republika. Tapi sekarang saya mengelus dada terhadap kampanye dan keberpihakan Ade yang melawan masa lalunya sendiri.
Kebenciannya terhadap Islamisasi menjadikannya bergabung dengan lembaga penelitian Setara yang dipimpin Hendardi. Seperti kita tahu sejak tahun 90an Hendardi adalah aktivis terkemuka yang melawan Islamisasi, membela Uskup Belo dan Timor Timur, membela minoritas meski salah dan lain-lain.
Makanya saya tidak heran ketika Ade lewat Setara tahun 2018 lalu mengadakan penelitian 10 perguruan tinggi ternama di tanah air tentang radikalisme. Dan hasilnya bisa ditebak ada radikalisme di kampus-kampus itu.
Saya yang kebetulan datang langsung acara pemaparan penelitian Setara itu di sebuah hotel di Jakarta, prihatin terhadap suasana pemaparan penelitian saat itu. Bila pembicara memaparkan tentang adanya radikalisme di kampus-kampus, maka tepuk tangan meriah menggema. Ade saat itu sebagai host di panggung.
Usai acara, saat itu bulan Ramadhan, ratusan hadirin menyerbu hidangan yang tersedia di ruang makan. Anehnya sebelum azan Maghrib tiba, banyak peserta yang sudah minum dan makan duluan. Saya baru mengerti kenapa tepuk tangan selalu meriah apabila ada kalimat-kalimat sinisme aktivis Islam di panggung tadi.
Sekulerisasi di kampus yang berjalan sejak zaman Belanda, Orla, Orba dan seterusnya memang tidak terasa bahayanya bila kita tidak menghayati. Terkini, munculnya kasus Reinhart yang memperkosa sesamanya sampai ratusan orang dan Laeli yang ikut memutilasi korban pembunuhan harusnya menjadi evaluasi bahaya sekulerisme di kampus ini. Juga beberapa orang mahasiswa di Bandung yang mencoba bunuh diri, harusnya direnungkan.
Pendidikan yang memisahkan agama/akhlak dan hanya mengandalkan rasio saja, akhirnya melahirkan manusia barbar yang egois, rusak akhlaknya dan hanya mementingkan nafsu lahiriah atau duniawi saja. Dari sini tindakan-tindakan kriminal terjadi. Inilah sebabnya yang menjadikan negeri kita tidak mencapai adil makmur sampai sekarang.
Padahal tujuan pendidikan sendiri sebagaimana diamanahkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional 2003, adalah agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Jadi kalau perguruan tinggi.konsisten dengan undang-undang, maka sekulerisme di kampus tidak mendapat tempat. Para pejabat di kampus malah seharusnya memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada mahasiswa untuk mendalami dan mengamalkan agamanya. Dan faktanya memang aktivis-aktivis Islam kampus dan alumninya banyak yang berperan penting dalam pembangunan di negeri ini. Dan patut dicatat Reinhart dan Laeli bukanlah alumni aktivis masjid/Islam.
Jadi Ade mestinya kembali ke habitatnya dan masa lalunya yang cemerlang. Bukan berkumpul dengan orang-orang yang buruk akhlaknya dan mempunyai track record selama ini memusuhi Islam dan umatnya.
Tobatlah sebelum terlambat.
Nuim Hidayat
(Alumni IPB dan UI)