Perpres Pencegahan Ekstremisme Adu Domba Masyarakat
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) (kompas.com, 19/01/2021). Rencana aksi ini dikeluarkan dengan tujuan untuk meningkatkan perlindungan hak atas rasa aman warga negara dengan menangani pemacu terjadinya ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
Perpres tersebut juga memuat lampiran yang berisi program-program yang harus dilakukan untuk mewujudkan RAN PE. Salah satu fokus pemerintah dalam program RAN PE adalah meningkatkan daya tahan kelompok rentan agar terhindar dari tindakan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada terorisme. Untuk itu dilakukan beberapa upaya, diantaranya dengan peningkatan efektivitas pemolisian masyarakat dalam mencegah ekstremisme.
Masyarakat akan dilatih bagaimana cara memolisikan orang yang diduga terlibat dalam ektremisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada terorisme. Kemitraan antara polisi dan masyarakat akan ditingkatkan dengan program pemolisian masyarakat (Polmas) ini. Selain itu, pemerintah juga akan meningkatkan kemitraan dan kerjasama internasional dalam pencegahan dan penanggulangan ektremisme.
“Ektremisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada terorisme”, sebuah kalimat panjang yang diputar-putar dan ujungnya sama. Apa itu? War on terorism (WoT). Narasi dibolak-balik dan diksi pun diutak-atik. Mulai dari terorisme, radikalisme, dan yang terbaru adalah ektremisme. Definisinya kabur namun sasarannya selalu jelas, yaitu umat Islam.
Sejatinya, War on Terorism adalah War on Islam. Dilihat dari data dalam situs resmi pemerintah AS tentang daftar Foreign Terrorist Organizations (FTO), 90% merupakan kelompok Islam (https://www.state.gov/foreign-terrorist-organizations/).
Sejak runtuhnya gedung WTC tahun 2001, Amerika Serikat (AS) hanya memberi dua pilihan pada negara lain. Pertama, ikut memerangi terorisme bersama AS. Atau yang kedua, berdiri bersama terorisme semakna memerangi AS. Ya, AS adalah pemeran utama dalam WoT. AS memorakporandakan Afghanistan dan Irak, sebagai warning bagi negara lain untuk menentukan pilihan.
Para pemimpin negara muslim akhirnya ikut mengampanyekan perang melawan terorisme. Mulailah dibangun narasi, dibuat jembatan untuk menghubungkan kelompok-kelompok Islam dengan aksi-aksi teror yang ada di negaranya masing-masing. Lihatlah penggrebekan hingga pembunuhan yang kata mereka terduga teroris, selalu pada kelompok islam. Sementara, sejenis OPM dan RMS yang jelas menebar teror, tak pernah ada penggrebekan diam-diam juga pembunuhan.
Monsterisasi ajaran Islam turut mengiringi WoT yang mengambil diksi baru yaitu radikalisme. Konflik di Suriah sengaja dipelihara oleh AS sebagai model dalam memerangi radikalisme. Hingga jika ada kelompok yang menyuarakan syariah, khilafah dan jihad, selalu dipersonifikasikan dengan kelompok yang ingin “men-suriah-kan” negaranya. Kembali, tuduhan radikalisme diarahkan pada umat muslim, terutama kelompok yang mendakwahkan Islam ideologis.