Bukan Sekadar Pencabutan Perpres Miras
Keputusan Presiden Jokowi mencabut lampiran III pada Perpres 10/2021 mengenai ketentuan Investasi miras (minuman keras) telah membuat sebagian besar masyarakat merasa lega.
Dipandang dari ilmu psikologi, masyarakat yang menyambut dengan senang hati atas keputusan seorang pemimpin mencabut peraturan yang dianggap membahayakan adalah sesuatu yang wajar terjadi. Hal ini juga menunjukkan bahwa, tabiat manusia itu sejatinya menginginkan adanya kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.
Pencabutan lampiran III terkait investasi miras yang diatur dalam Perpres 10/2021 juga dinilai sebagian masyarakat sebagai wujud sikap demokratis Presiden karena telah memperhatikan aspirasi publik. Padahal jika ditelisik lebih dalam, munculnya Perpres ini tidaklah instan. Perpres ini dilahirkan sebagai bentuk pengejawantahan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Sebagaimana pemaparan laman katadata.co.id (7/10/2020), pemerintah mengubah Daftar Negatif Investasi (DNI) dengan membuka 14 bidang usaha untuk investasi melalui UU Cipta Kerja. Di antara bidang usaha yang dibuka ialah minuman keras yang mengandung alkohol.
Maka sebenarnya akar masalah sesungguhnya dari kegaduhan terbitnya Perpres mengenai klausul investasi miras ada pada UU 11/2020 berasal dari UU Cipta Kerja. Maka apakah mungkin masalah selesai begitu saja padahal akar masalahnya masih saja tertanam secara kuat? Terlebih, sangat mungkin keputusan pencabutan lampiran miras hanya untuk meredam amarah publik sesaat. Terlebih, yang dicabut hanya lampirannya, bukan Perpresnya.
Lampiran yang dicabut pun hanya bidang usaha No. 31 dan No. 32. Adapun lampiran Bidang Usaha No. 44 tentang Perdagangan Eceran Minuman Keras atau Beralkohol dan No. 45 tentang Perdagangan Eceran Kaki Lima Minuman Keras atau Beralkohol tidak dicabut. Berarti industri miras ini tetap berjalan dan hanya investasi (industri) baru yang tidak ada.
Terlebih, sebelum Perpres No. 10/2021 dan UU Cipta Kerja terbit, sebenarnya miras sudah menjadi persoalan di Indonesia. Hal ini sebagaimana pernyataan kepolisian saat pembahasan RUU Minol bahwa 223 kejahatan adalah akibat miras. Bahkan di Papua, gubernurnya bereaksi keras ketika Perpres 10/2021 disahkan, karena di Papua miras sudah menjadi masalah.
Banyak fakta pun berbicara, bahwa dengan mengkonsumsi miras, bisa memicu tindak kejahatan dan kekerasan. Seperti yang dilakukan oleh seorang oknum polisi dalam keadaan mabuk menembak empat orang. Tiga di antaranya meninggal. Salah satunya anggota TNI (kompas.com, 26/02/2021). Begitu juga banyak tindakan asusila bahkan pemerkosaan yang berawal akibat mengkonsumsi miras. Ancaman kerusakan generasi pun tak bisa dihindarkan ketika berbagai minuman dan zat yang merusak akal tak dilarang.
WHO merilis bahwa setiap tahun jumlah kematian dikarenakan minuman beralkohol mencapai angka 3,3 juta jiwa, setara dengan kematian 1 orang setiap 20 detik. Di Indonesia, tren kerusakan dikarenakan miras meningkat setiap tahun sejak zaman Presiden Soekarno. Di Sulawesi Utara, sebagai salah satu provinsi yang ditarget, memiliki track record sebanyak 70% kejahatan dipelopori oleh minuman keras.
Provinsi Papua tak mau kalah, data menunjukkan miras menyumbang kematian 22% rakyat di Papua. “Tak hanya di Papua, 75% angka kriminalitas di Merauke disebabkan miras, 75% juga menyebabkan laka lantas,” ungkap Filep Wamafma senator asal Dapil Papua Barat. Secara nasional pun, 40% kasus kekerasan yang terjadi disebabkan pelaku berada dibawah pengaruh minuman beralkohol. Ini berdasar catatan Polri selama tahun 2018-2020. (www.jpnn.com)
Berkenaan dengan miras, dalil di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah secara qoth’i telah mengharamkannya. Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (TQS Al-Maidah [5]: 90).