SUARA PEMBACA

Bukan Sekadar Pencabutan Perpres Miras

Begitu juga hadist Rasulullah Saw, “Khamr adalah induk keburukan. Siapa saja yang meminum khamr, Allah tidak menerima salatnya 40 hari. Jika ia mati, sementara khamr itu ada di dalam perutnya, maka ia mati dengan kematian jahiliah.” (HR ath-Thabarani, ad-Daraquthni, dan al-Qudha’i). Berikut juga hadist, “Khamr adalah biang kejahatan dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum khamr bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari ayahnya.” (HR ath-Thabarani)

Maka, sungguh sangat jelas bahwa peredaran miras di tengah masyarakat adalah hal yang sangat meresahkan dan mengkhawatirkan. Namun, faktanya peredaran ini sudah berkembang bahkan sebelum adanya peraturan tentang investasi miras yang diatur di dalam Perpres yang lampirannya telah dicabut. Maka, patutkah kita puas dan merasa aman dengan keputusan dicabutnya lampiran Perpres ini? Sudah yakinkah bahwa setelah ini masyarakat akan dihindarkan dari peredaran miras?

Dengan melihat bahwa peredaran miras ini sudah berkembang jauh sebelum adanya perpres investasi miras maka sejatinya akar masalah berkembangnya miras bukan sekedar Perpres dan juga UU Cipta Kerja. Akan tetapi, permasalahan yang terjadi adalah bahwa peredaran barang ini sejatinya dijamin oleh sistem ekonomi kapitalisme dikarenakan bahwa barang ini masih ada yang membutuhkan.

Sebagaimana diungkapkan oleh tokoh kapitalisme, Adam Smith yang mengatakan bahwa sistem ekonomi kapitalis menyerahkan prinsip kapitalisasi kepada pasar bebas. Standarnya adalah materialisme atau keuntungan. Akibatnya, sistem ini melahirkan pola pikir individualis yang tidak peduli orang lain, bahkan mencampakkan halal-haram. Di dalam sistem kapitalisme, tidak pernah memperhatikan dampak negatif terhadap masyarakat. Selagi masih ada yang membutuhkan, maka barang itu akan ada di tengah masyarakat dan dilegalkan oleh negara.

Maka akan hanya akan menjadi mimpi, miras akan dilarang secara total di dalam sistem kapitalisme. Oleh karena itu, sesungguhnya permasalahan miras ini tidak akan pernah selesai dengan menolak Perpres tentang investasi miras atau menolak UU Cipta Kerja. Terlebih hanya merasa puas dengan adanya pidato presiden yang akhirnya menarik lampiran III dari perpres tentang investasi miras. Maka, masyarakat Indonesia yang sejatinya mayoritas muslim ini haruslah menyadari secara penuh adanya kebijakan yang rusak berikut merebaknya perilaku asusila di masayarakat sejatinya adalah buah dari penanaman sistem kapitalisme-sekuler di Indonesia.

Dengan demikian, jika kita menginginkan peredaran miras ini benar-benar dilarang di tengah masyarakat maka sudah saatnyalah kita mencampakkan sistem kapitalisme-sekuler dan mengambil Islam sebagai tata aturan kehidupan. Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan Asy-Syari’, Sang Pembuat hukum, yaitu Allah Swt. Karena manusia tidak berhak membuat aturan sendiri. Hukum yang diterapkan haruslah berdasarkan syariat Islam. Manusia hanya pelaksana hukum Allah.

Maka, jika di dalam Al-Qu’an dan as-Sunnah melarang secara tegas peredaran khamr, maka tata aturan Islam juga tidak akan memberi celah apapun terhadap produksi dan peredaran miras. Meskipun hal tersebut mungkin memberikan keuntungan bagi negara. Akan tetapi, standar kehidupan tetap halal-haram bukan keuntungan. Hanya aturan Islam satu-satunya yang dapat menjauhkan miras dengan total serta menyelamatkan generasi mendatang. Ini akan terwujud jika aturan Islam diterapkan secara kaffah. Wallahu A’lam bisshawab.

Habiba Mufida
(Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Kebijakan Publik)

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button