OPINI

Memalak Rakyat Berkedok Pajak?

Pemerintah dikabarkan merevisi beberapa aturan pajak dalam RUU tentang Perubahan Kelima atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Draf RUU ini disebut telah masuk ke DPR, serta menjadi prioritas dalam Prolegnas 2021 untuk dapat diimplementasikan.

Dalam draf RUU ini, pemerintah berniat memungut pajak pertambahan nilai (PPN) bagi barang kebutuhan pokok alias sembako. Tidak berhenti di sembako, pemerintah juga berencana memungut pajak jasa pendidikan. Padahal sebelumnya, jasa pendidikan alias sekolah masuk kategori jasa bebas PPN.

Di luar rencana revisi tersebut, dengan dalih mendongkrak pemulihan ekonomi, pemerintah jauh hari telah melakukan beberapa penyesuaian pajak. Sebutlah, relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) bagi kendaraan bermotor, pajak properti untuk pembelian rumah siap huni, serta beberapa insentif pajak lain dalam rangka meringankan beban masyarakat di tengah pandemi.

Kendati demikian, ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara berkomentar, bahwa beragam wacana pajak baru ini menjadi sinyal ketidakadilan pajak yang kelewat batas. Kebijakan baru ini bahkan berpotensi memperlebar jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin.

Bhima menyebut kebijakan pajak baru, sampai bahan pangan pun dikenakan PPN, jelas menampakkan keberpihakkan pemerintah pada orang kaya. Mengingat pemerintah memberikan banyak relaksasi pajak bagi orang kaya; seperti relaksasi PPnBM, pajak properti, hingga tax amnesty. Meskipun PPh berencana dinaikkan, tetapi PPh naik hanya bagi orang super kaya yang penghasilannya di atas Rp5 miliar. (CNNIndonesia.com, 10/6/2021).

Paradigma sistem kapitalisme menempatkan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Tidak heran, jika penguasa terus memutar otak agar ‘kreatif’ memalak rakyat. Bahkan bila perlu, penguasa memalak rakyat hingga titik darah penghabisan. Ironisnya, rakyat yang dipalak pajak bukanlah mereka yang hidup bergelimangan harta, tetapi justru mereka yang hidupnya serba kesusahan.

Alhasil, meskipun rakyat tidak selalu dipalak secara langsung, tetapi beragam cara memalak pajak terus mencengkeram rakyat. Mulai dari urusan besar, hingga urusan kecil tak lepas dari pajak. Ujungnya, suka tidak suka, rakyat terus dipaksa untuk membayarnya.

Miris, negara yang memiliki kekayaan alam berlimpah, tetapi faktanya rakyat terus-terusan dipalak. Bahkan pemasukan negara bertumpu pada pajak dan utang. Tidak heran, jika negara jatuh dalam kubangan utang yang begitu dalam, sedangkan rakyat dibelenggu pajak. Kondisi ini jelas menyesakan dada, sebab lagi-lagi rakyat yang menjadi tumbal.

Slogan ‘Kerja, kerja, kerja’ milik penguasa pun membuat publik bertanya-tanya. Untuk siapakah mereka bekerja, kok rakyat justru makin susah? Bahkan berbagai problematika rakyat pun kian menggunung. Pandemi yang tak kunjung usai. Utang yang makin menggila. BUMN banyak merugi. Korupsi yang kian ngeri. Terbaru pembatalan haji yang penuh teka-teki. Kini, rakyat akan kembali dipusingkan dengan kenaikan pajak yang makin mencekik.

Jelas, segala bentuk kesemrawutan ini merupakan buah salah urus negara. Tuan penguasa yang berkhidmat pada sistem kapitalisme, telah terbukti melahirkan beragam kegagalan. Kapitalisme yang tegak di atas pondasi sekularisme yang rapuh dan tak mengenal halal-haram, telah sukses melahirkan penguasa yang berorientasi materi. Alhasil, jika praktik ekonomi dan beragam produk kebijakan pun berasas untung-rugi, sarat intrik, dan sangat eksploitatif bagi mayoritas rakyat.

Pajak yang katanya sebagai jalan ‘memaksa’ para cukong berbagi cuan, faktanya hanya teori yang jauh dari praktik. Relaksasi PPnBM, pajak properti, hingga tax amnesty, jadi bukti bagaimana orang kaya justru mendapat keringanan dari kewajiban pajak. Sementara rakyat kecil terus dicekik pajak, mulai dari nasi bungkus hingga mahalnya pendidikan. Tak ayal lagi, ketimpangan sosial makin menganga.

Mencekik rakyat dengan pajak, demi menutup kebocoran kas negara sebab aliran utang dan kerugian sejumlah BUMN, jelas bukan solusi hakiki. Tidak hanya menambah derita rakyat, tetapi juga melemahkan kepercayaan dan wibawa negara di hadapan rakyat. Selain itu, pajak juga membuat tuan penguasa terus-terusan berada di bawah kendali para pemilik modal.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button