OPINI

Memalak Rakyat Berkedok Pajak?

Jelas, memalak rakyat berkedok pajak merupakan kezaliman yang nyata. Alih-alih menyejahterakan, kapitalisme justru makin menambah sengsara. Selama sistem ini terus diemban, penguasa akan terus kehilangan perannya sebagai pengurus urusan rakyat. Sistem ini pun makin membuka lebar pintu penjajahan kapitalis global. Alhasil, rakyat butuh sistem alternatif yang menyejahterakan, yakni Islam.

Paradigma Islam memandang bahwa fungsi negara atau penguasa adalah sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Menjadi amanat penguasa untuk mengurus dan melindungi rakyatnya dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang. Fungsi ini akan tegak ketika penguasa konsisten menerapkan aturan Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali bidang ekonomi.

Sistem ekonomi Islam tentu jauh berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal. Pondasinya adalah akidah Islam, yang memancarkan di atasnya seperangkat aturan yang sahih dan solutif untuk seluruh problematika rakyat. Dalam bidang ekonomi, sistem Islam dengan jelas mengatur distribusi kekayaan, sehingga tidak timpang dan merata. Sementara itu, penyelenggaraan ekonomi dan pembangunan bertujuan semata-mata demi kesejahteraan rakyat.

Islam dengan tegas mengatur tentang kepemilikan. Sumber kekayaan alam yang jumlahnya tak terbatas merupakan milik rakyat. Wajib bagi negara menjaga dan mengelola kepemilikan umum ini, semata-mata demi kepentingan rakyat. Haram bagi negara menyerahkan pengelolaannya kepada siapa pun, apalagi kepada asing/swasta, baik individu maupun kelompok.

Terkait utang negara, Islam tegas melarang transaksi riba, termasuk segala jenis utang negara yang berbasis riba. Alhasil, negara pun tak memikirkan mengambil utang riba sebagai solusi permasalahan keuangan negara, apalagi kepada asing. Sebab tidak hanya membuka peluang dosa bagi penguasa, tetapi juga membuka jalan kontrol kafir penjajah.

Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT., “Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS. An-Nisa [4]: 141).

Andai pun suatu saat negara mengalami kondisi keuangan yang sulit. Sebab pendapatan negara mengalami defisit. Negara tidak serta merta mengambil opsi pajak sebagai solusi. Negara terlebih dulu melakukan penataan dan pemetaan; mana pengeluaran yang penting dan menjadi prioritas bagi rakyat; mana pengeluaran yang belum penting dilakukan.

Jika negara masih dalam kondisi kekurangan, maka negara harus memaksimalkan seluruh potensi rakyat. Negara akan mendorong semangat berkorban rakyat. Salah satunya melalui mekanisme pendanaan dengan utang kepada rakyat yang hartawan.

Pajak diberlakukan saat terjadi masalah kekosongan kas negara, dan hanya dipungut dari orang-orang kaya yang beragama Islam saja. Jadi, tidak diberlakukan kepada seluruh rakyat, seperti yang terjadi sekarang ini. Pajak ini pun hanya berfungsi sebagai stabilitas dan bersifat insidental. Maksudnya, ketika masalah keuangan negara berhasil diatasi, pajak pun dihentikan.

Alhasil, pajak dalam Islam bukanlah sebuah kezaliman. Sebaliknya, merupakan bentuk kontribusi rakyat (hartawan) secara sadar, terhadap berbagai urusan keumatan. Ujungnya, pahala dan kebaikanlah yang menjadi balasan.

Inilah mekanisme sistem Islam mengantarkan rakyat menuju kesejahteraan. Begitu indah mengatur hubungan negara, kekuasaan dan rakyatnya. Pondasi ruhiyah (akidah Islam) niscaya tidak hanya sukses mengantarkan umat pada taraf kehidupan yang sejahtera, tetapi juga gemilang. Predikat sebagai khoiru ummah, pemimpin peradaban manusia, niscaya bukan utopia.

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…” (TQS. Ali Imran [3]: 110). Wallahu’alam bishshawab.

Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button