KH Hasyim Asy’ari: Kiai yang Menggerakkan Revolusi (2)
Kegiatan Kiai Hasyim pun kini sudah melebar ke luar pesantren. Ia mendoakan anak-anak yang baru lahir, pasangan pengantin baru dan juga membimbing belajar shalat bagi masyarakat yang baru mengenal Islam. Ia melakukan dakwahnya dengan bilhikmah, dan membiarkan tradisi dalam masyarakat berkembang dengan diisi dakwah Islam.
Tentu keberhasilan Kiai Hasyim dalam mengembangkan pesantrennya ini membuat para ahli maksiyat di daerah itu geram. Sebagian yang tidak suka kepada pesantren, menghembuskan hasutan, fitnah dan lain-lain. Bahkan para penjahat itu kadang datang ke pesantren dengan membawa golok, celurit dan pedang, mengancam agar Kiai Hasyim tidak mengembangkan dakwahnya di daerah itu.
Menghadapi ancaman para penjahat itu, akhirnya Kiai Hasyim mengutus beberapa santrinya untuk pergi ke Cirebon. Mereka diutus untuk mencari bantuan kepada para pendekar atau Kiai disana untuk mengajari pencak silat atau bela diri. Akhirnya beberapa Kiai bersedia datang ke Tebuireng, antara lain: Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Pangulangan, Kiai Syamsuri Wanalala, Kiai Abdul Jamil Buntet dan lain-lain.
Baca juga: KH Hasyim Asyari: Kiai yang Menggerakkan Revolusi (1)
Selama tiga bulan santri-santri itu digembleng siang dan malam untuk latihan bela diri, selain tetap mereka belajar mengaji. Di samping dilatih dengan jurus-jurus tangan kosong, mereka juga dilatih menggunakan pisau, pedang, tombak dan lain-lain.
Setelah tiga bulan, para Kiai itu kembali ke Cirebon. Para santri yang digembleng itu siap setiap saat menghadapi para penjahat yang mencoba mengganggu pesantren. Bahkan kadang terjadi bentrokan para penjahat itu babak belur dihajar para santri.
Pesantren pun kini tenang sebagai tempat belajar sehari-hari. Para pemabuk, penjudi, pelacur dan lain-lain banyak yang bertobat dan mulai mengamalkan Islam. Masyarakat di sekitar pun banyak yang mendukung pesantren dan dakwah Islam.
Rupanya para penjahat itu tidak kapok untuk merecoki pesantren Tebuireng. Kali ini mereka menyaru maling malam-malam datang ke pesantren. Kebetulan santri mengetahuinya dan menangkapnya. Karena dianggap maling, maka para santri menggebukinya hingga babak belur.
Melihat kawannya yang babak belur dihajar para santri itu, para penjahat membuat rekayasa lebih besar lagi. Mereka menghembuskan isu bahwa kawannya mati karena ulah santri dan mereka ingin pesantren menebusnya. Mereka membuat tiga pilihan kepada pihak pesantren. Pertama, pesantren menyerahkan santrinya yang telah membunuh kawannya itu. Kedua, Kiai Hasyim menyerahkan diri sebagai tebusan. Ketiga, pesantren akan dibakar bila tidak memenuhi tuntutan mereka.
Maka utusan para preman itu didampingi polisi Belanda akhirnya datang menemui Kiai Hasyim menyampaikan tiga tuntutan mereka. Kiai Hasyim menolaknya. Kiai Hasyim minta bukti kebenaran kawan mereka mati dan mereka tidak dapat membuktikannya. Mereka pun pulang kecewa dan mengancam akan membakar pesantren seminggu kemudian.
Akhirnya setelah seminggu tiba sekitar 200 preman gabungan dari Jombang, Nganjuk, Mojokerto dan Lamongan datang ke pondok pesantren dan membakarnya. Mereka sebelumnya menyiramkan minyak tanah dulu ke bangunan pesantren itu. Puluhan polisi Belanda ikut menyaksikan kejadian yang mengenaskan itu.
Kemana Kiai Hasyim dan santrinya? Pada hari H itu, sang Kiai dan sekitar 100 santrinya bersembunyi sekitar 100 meter dari tempat kejadian. Mereka menyaksikan kejadian itu dari jauh dan hanya bisa mengelus dada. Kiai Hasyim mengambil keputusan menghindari bentrokan dengan para preman itu agar tidak menimbulkan korban yang lebih banyak.