Keadilan Dikebiri di Bawah Kaki Pinangki
Diskon hukuman yang diterima jaksa Pinangki Sirna Malasari dari tuntutan 10 tahun penjara menjadi empat tahun melukai keadilan hukum di negeri ini. Ada tiga alasan mengapa hakim menyunat hukuman Pinangki. Pertama, Pinangki dianggap mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya. Ia mengaku ikhlas dipecat dari profesinya sebagai jaksa.
Alasan kedua, hakim memandang Pinangki seorang perempuan yang perlu mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil. Terlebih ia masih memiliki anak berusia empat tahun yang butuh kasih sayang ibunya. Alasan ketiga, hakim menganggap tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat.
Seperti diketahui, jaksa Pinangki Sirna Malasari terlibat kasus suap Djoko Tjandra. Pinangki dinyatakan terbukti bersalah menerima suap USD 450 ribu dari Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) dan melakukan TPPU serta permufakatan jahat.
“Menjatuhkan hukuman pidana hukum kepada terdakwa dengan pidana 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta, dengan ketentuan apabila tidak tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama enam bulan.” ucap hakim ketua Ignasius Eko Purwanto saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (8/2/2021). (Detik.com, 20/6/2021)
Kasus Serupa, Perlakuan Beda
Banyak yang menyandingkan kasus Pinangki dengan kasus korupsi yang pernah menjerat Angelina Sondakh saat menjabat sebagai anggota DPR RI. Sama-sama terlibat korupsi dan sama-sama berstatus sebagai ibu, namun nasib vonis keduanya berbeda.
Angie menerima suap Rp2,5 miliar dan USD 1,2 juta dalam pembahasan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Awalnya ia dihukum 4,5 tahun penjara, namun hukumannya diperberat menjadi 12 tahun penjara dan diringankan di tingkat PK menjadi 10 tahun penjara. Kala itu, pengadilan menolak meringankan hukuman Angie dengan alasan single parent dan kebutuhan merawat anak.
Dengan kasus serupa dan alasan yang sama, Pinangki justru mendapat kortingan besar dari 10 tahun menjadi empat tahun penjara. Mengapa perlakuannya bisa berbeda? Padahal jika melihat profesi keduanya, justru Pinangki lebih layak diganjar hukuman berat karena dia adalah penegak hukum yang harusnya sebagai garda terdepan menegakkan keadilan malah menjadi pelaku korupsi.
Itulah mengapa publik menilai di masa pemerintahan Jokowi keadilan benar-benar dikebiri mengikuti kehendak kekuasaan. Siapa yang berkuasa merasa leluasa memanipulasi hukum sesuai kepentingan si “pemesan”.
Dilansir dari Kompas (17/6/2021), pengajar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) Riawan Tjandra mengatakan, negara tak lagi menganggap korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Riawan menilai saat ini terjadi tindakan permisif dari para penegak hukum pada praktek-praktek korupsi yang terjadi di Indonesia.
Pergeseran itu dinilainya sebagai dampak dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 Tahun 2016 pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Putusan tersebut mengubah delik korupsi di Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tipikor.
Pandangan yang sudah bergeser itu, lanjut Riawan, diperkuat dengan merosotnya peringkat Indonesia dalam indeks persepsi korupsi berdasarkan hasil survei Transparency International di tahun 2020. Indeks persepsi korupsi Indonesia merosot dari peringkat 88 ke-102 dari 188 negara. Itu artinya, pemberantasan korupsi Indonesia mengalami kemunduran.
Bagaimana tidak mundur jika lembaga pemberantasnya (KPK) diperlemah dengan berbagai akal bulus seperti revisi UU KPK dan TWK yang belakangan disorot tajam. Ditambah, sunat hukuman bagi koruptor yang seakan menjadi kebiasaan.