Kebijakan Jokowi Soal Kampus, Ngawur
Presiden Joko Widodo meminta perguruan tinggi melibatkan berbagai industri untuk mendidik para mahasiswa. Di era yang penuh disrupsi seperti sekarang ini, kata dia, kolaborasi antara perguruan tinggi dengan para praktisi dan pelaku industri sangat penting.
“Ajak industri ikut mendidik para mahasiswa sesuai dengan kurikulum industri, bukan kurikulum dosen, agar para mahasiswa memperoleh pengalaman yang berbeda dari pengalaman di dunia akademis semata,” kata Jokowi dalam Konferensi Forum Rektor Indonesia, Selasa (27/7), Kompas.com.
Jokowi meminta perguruan tinggi memfasilitasi mahasiswa untuk belajar kepada siapa pun juga, di mana pun juga, dan tentang apa pun juga. Pembelajaran dari para praktisi dan pelaku industri dinilai sangat penting. Kurikulum seharusnya memberikan bobot SKS yang jauh lebih besar untuk mahasiswa belajar dari praktisi dan industri.
“Pengajar dan mentor dari pelaku industri, magang mahasiswa ke dunia industri, dan bahkan industri sebagai tenant di dalam kampus harus ditambah, termasuk organisasi praktisi lainnya juga harus diajak berkolaborasi,” ujarnya.
Jokowi mengatakan, keterampilan dan pengetahuan mahasiswa harus sejalan dengan perkembangan terkini dan masa depan. Ia mengingatkan bahwa banyak pengetahuan dan keterampilan yang menjadi tidak relevan lagi dan menjadi usang karena disrupsi. Namun, menurut Presiden, di saat bersamaan, banyak pengetahuan baru yang bermunculan. Banyak jenis pekerjaan yang hilang karena disrupsi, tetapi pekerjaan baru di masa kini dan masa mendatang juga bermunculan akibat disrupsi. Merespons perubahan itu, Jokowi menekankan agar jangan sampai pengetahuan dan keterampilan mahasiswa justru tidak menyongsong masa depan.
“Pengetahuan dan keterampilan yang hebat di masa kini bisa jadi sudah tidak dibutuhkan lagi dalam 5 tahun atau 10 tahun ke depan. Mahasiswa harus disiapkan menguasai pengetahuan dan keterampilan yang relevan untuk zamannya,” kata dia.
Pernyataan Presiden Jokowi soal kampus dengan kurikulum industri ini kini banyak diikuti oleh kampus-kampus di Indonesia. Pernyataan ini bila ditelaah secara mendalam, mengandung bahaya di masa depan. Mengikut Jokowi, kampus tidak lagi dipersiapkan melahirkan pemimpin-pemimpn yang membimbing msyarakat, tapi kampus dipersiapkan hanya untuk mengisi dunia industri atau dunia kerja. Dengan fungsi seperti ini makna kampus tak ubahnya seperti lembaga kursus yang mendidik para pekerja untuk kerja di pabrik-pabrik. Dan itulah kenyataan saat ini para mahasiswa digiring ke sana.
Yang terjadi kemudian jurusan-jurusan yang diprediksi akan menghasilkan keuntungan komersial besar di masa depan, menjadi membludak peminatnya. Seperti jurusan kedokteran, ekonomi dan lain-lain.
Kebijakan kampus seperti ini sebenarnya menjadi manusia menjadi ‘biadab’. Manusia menjadi barbar. Manusia seolah-olah seperti binatang yang kebutuhannya hanya makan dan minum. Mahasiswa dididik di kampus bukan sekadar nanti di masa depan bisa kerja, tapi yang lebih penting menjadi pemimpin. Menjadi orang-orang yang memperbaiki masyarakat dan negaranya. Kebijakan kampus yang hanya mengisi dunia kerja ini juga menjadikan bangsa kita menjadi bangsa pembebek, bukan bangsa pelopor yang mengilhami kemajuan negara-negara lain.
Ini semua diakibatkan tradisi budaya ilmu yang lemah di masyarakat luas. Di dunia kampus, rektor dan para pejabat kampus banyak pikirannya yang terjangkit dengan paham materialisme. Maka jangan heran banyak rektor atau pejabat kampus negeri yang merangkap sebagai direksi atau komisaris di perusahaan-perusahaan BUMN. Ini semua terjadi karena bukan budaya ilmu yang ingin dikembangkan di kampus, tapi budaya materi.
Mengenai budaya ilmu ini, menarik bila kita kembali mengkaji buku Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, seorang cendekiawan ulung Malaysia yang menulis buku monumental berjudul Budaya Ilmu. Ia mengutip pendapat dari cendekiawan ternama Prof Paul Kennedy. Menurut Prof Paul dari Universitas Yale, Amerika Serikat dalam bukunya The Rise and Fall of the Great Powers: Economic Change and Military Conflict from 1500-2000 yang menjadi international best seller, ia telah telah menganalisis tentang faktor-faktor penting kebangkitan dan kejatuhan kuasa-kuasa besar dari abad ke 16 hingga abad ke 20 Masehi. Seperti Kerajaan Islam Turki dan Mughal India, Dinasti Ming Cina, Jepang, Rusia dan negara-negara Eropa. Ia mendapati bahwa dua faktor utama yang saling berkaitan ialah kewibawaan sistem serta kuasa ekonomi dan kekuataan teknologi ketentaraan. Namun masih boleh disimpulkan dari analisisnya ini bahwa faktor yang menjadi dasar kedua ‘faktor akibat’ itu adalah sikap terhadap ilmu dan penghayatan budaya ilmu. Ia mendapati sikap puas hati, jumud dan angkuh golongan berkuasa di kalangan ilmuwan, dan pemerintah dalam kerajaan Turki, India dan Cina adalah sebab utama kelemahan sistem ekonomi dan teknologi ketentaraan mereka. Keadaan demikian ini adalah sebagian jelmaan gejala yang disebut Prof Naquib al Attas sebagai ‘kekeliruan dan penyelewengan dalam ilmu’. Meski al Attas menggunakan konsep ini bagi membincangkan masalah umat dan tamadun Islam, namun ini juga bisa digunakan untuk tamadun lain.
Prof Wan Daud kemudian menceritakan tentang pengalamannya bersama Prof Naquib al Attas dalam membangun ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization). “Saya belajar lagi secara mendalam dengan pengasas dan pengarahnya SMN Al Attas dan bersungguh-sungguh membantu beliau dalam hal ihwal akademik dan pelajar dari tahun 1988 sehinggalah 13 Oktober 2002. Selama 14 tahun itulah saya bertemu dengan ilmuwan, pemimpin, pentadbir, usahawan dan pelajar Islam pelbagai peringkat dari seluruh dunia dan menyaksikan hakikat budaya ilmu yang rapuh di kalangan pelajar dan masyarakat terpelajar Islam,” tulisnya.