Duka Anak-Anak Yatim Piatu Korban Pandemi, Siapa Peduli?
Pandemi Covid-19 terus saja menimbulkan problematika baru. Tidak hanya ribuan nyawa manusia yang menjadi korban. Ribuan anak pun mendadak menjadi yatim piatu karena orang tuanya meninggal, akibat terpapar virus corona. Jumlah kasus kematian Covid-19 yang tinggi pun membuka kemungkinan jumlah anak yatim piatu makin bertambah dan meresahkan.
Data Kementerian Sosial (Kemensos) yang dihimpun melalui Satgas Penanganan Covid-19 per 20 Juli 2021, mencatat ada 11.045 anak menjadi yatim, piatu, bahkan yatim piatu. Sementara itu, KawalMasaDepan setidaknya mencatat estimasi jumlah anak yang kehilangan orang tua karena pandemi mencapai 50.000 anak se-Indonesia. (tirto.id, 6/8/2021).
Dikutip dari laman resmi Kemensos, 6/8/2021, Mensos Tri Rismaharini menyebut pihaknya masih dalam proses pengumpulan data terkait anak yatim, piatu, dan yatim piatu yang orang tuanya meninggal karena terpapar Covid-19.
Selain itu, Kemensos juga memberikan dukungan melalui Program Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI), yang meliputi pemenuhan kebutuhan obat-obatan, vitamin, tes swab/PCR, vaksinasi, konseling anak serta keluarganya, dan kebutuhan dasar anak lainnya; mereunifikasi anak dengan keluarga besarnya; hingga memfasilitasi pengasuhan alternatif melalui pengasuhan oleh orangtua asuh/wali/pengangkatan anak dan pengasuhan melalui panti. (Kompas.com, 8/8/2021).
Anak-anak yatim piatu ini merupakan aset berharga bagi masa depan bangsa. Mereka tidak hanya membutuhkan sandang, pangan, dan papan; tetapi lebih dari itu mereka membutuhkan kasih sayang, pendidikan, dan perlindungan sepanjang hidupnya. Untuk itu, butuh solusi solutif yang berkesinambungan untuk menuntaskannya. Sebab, salah solusi atau kegagalan dalam pengurusannya, akan berakibat fatal bagi masa depan generasi.
Anak yatim piatu merupakan rakyat yang berkategori rentan. Sebab mereka belum dapat mengurus dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Mereka hanyalah anak-anak yang seharusnya berada dalam pelukan dan tanggung jawab orang tua. Roda takdirlah yang membuat salah satu atau kedua orang tuanya meninggal karena Covid-19. Untuk itu, tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhannya, berpindah ke tangan orang-orang di sekelilingnya.
Dalam koridor syarak, anak yang salah satu orang tuanya meninggal, hak asuh anak berada pada orang tuanya yang masih hidup. Jika orang tuanya tidak mampu, maka menjadi kewajiban keluarga besarnya untuk menolongnya. Tanggung jawab memenuhi kebutuhan dan pendidikan ini pun beralih kepada keluarga besarnya, jika kedua orang tuanya meninggal dunia.
Namun, bagaimana jika keluarga besarnya tidak mampu? Maka, tanggung jawab ini pun beralih kepada masyarakat di sekitar untuk membantunya. Sayangnya, bantuan ini tentunya hanya bersifat sementara dan tidak kontinu. Alhasil, negara sebagai soko guru keluarga, memiliki kewajiban dan tanggung jawab besar terhadap anak yatim piatu; mulai dari papan, pangan, sandang, pendidikan, kesehatan, hingga keamanan.
Ironisnya, kondisi wabah yang belum terkendali, membuat tidak semua anak yatim piatu mendapatkan perhatian negara. Alih-alih memenuhi kebutuhan mereka, hingga saat ini data yang terkumpul pun masih belum lengkap. Terbaru, Mensos menyebut prosedur dan anggaran bantuan yang diberikan oleh Kemensos untuk anak yatim, masih sedang digodok bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Bantuan ini pun rencananya baru disalurkan mulai 2022. (CNNindonesia.com, 13/8/2021).
Saat rakyat membutuhkan bantuan secara cepat dan tanggap, tuan penguasa justru baru menggodok solusinya. Solusi saat ini pun hanya ibarat obat penenang, yang belum tentu menuntaskan masalah. Makin lama tak tertangani, nasib anak-anak yatim piatu pun makin pilu. Padahal pandemi sudah lama terjadi, semestinya masalah ini jauh hari sudah dapat diprediksi.
Makin tampak wajah asli tuan penguasa, gagap dan sering kali gagal menuntaskan masalah yang menimpa rakyat. Sebaliknya, cepat tanggap terhadap segala kepentingan para pemilik modal. Mengulurkan tangan sebelum para cukong meminta. Sebaliknya, telat mengulurkan tangan kala rakyat ditimpa duka lara. Alhasil, rakyatlah yang terus dibelit berbagi persoalan. Rakyat pula yang terus merasakan pahitnya pil sengsara.
Kondisi ini sangat berbeda ketika sistem Islam diterapkan secara kafah dalam bingkai khilafah. Sejarah mencatat dengan tinta emas, bagaimana Khalifah Umar bin Khattab r.a. berkeliling sendiri, demi memastikan kondisi rakyatnya. Beliau bahkan kesulitan tidur, sementara beliau masih mendapati rakyatnya dalam kondisi kesusahan.