Childfree, Penghancur Anak Negeri
Topik Childfree saat ini tengah ramai dibicarakan setelah YouTuber Gita Savitri secara terbuka mengungkapkan pilihannya untuk tidak punya anak. Childfree adalah istilah yang digunakan untuk orang yang memilih tidak memiliki anak.
Ada beberapa alasan mengapa orang menerima ide ini, diantaranya saat seseorang mempunyai anak, maka mereka akan kehilangan kebebasan serta individualitas. Banyak orang yang memiliki anak-anak tidak terlihat bahagia. Bagi Childfree, mereka ingin mempererat dan memfokuskan cinta pada pasangan. (Tribunnews.com, 20/8/21)
Alasan lain memutuskan Childfree biasanya terkait masalah personal, finansial, latar belakang keluarga. Begini akibatnya jika manusia dibiarkan berpikir hanya menggunakan akalnya saja. Padahal, akal manusia itu sifatnya sungguh terbatas. Allah SWT mewajibkan manusia terikat pada syariat-Nya, karena syariat itu adalah bentuk kasih sayang Allah Swt kepada manusia secara umum, agar mereka mampu menjalani kehidupannya di dunia dengan baik.
Masyarakat yang berada dalam dekapan kapitalisme, sekularisme, liberalisme memiliki pandangan hidup yang menyesatkan. Dan ini dibiarkan bebas bermunculan. Pandangan komunitas Childfree yaitu komunitas yang mengambil pilihan untuk tidak punya anak dengan berbagai alasan.
Fenomena ini dikembangkan di negara-negara sekuler seperti Jerman, Jepang, Korea selatan dan Singapura yang mendasarkan kebahagian pada kemapanan materi. Sehingga menjadikan generasi milineal mereka lebih memilih untuk Childfree. Padahal mereka memiliki gharizah nau’ yaitu naluri untuk melestarikan keturunan. Mereka adalah makhluk hidup yang tidak bisa mengingkari qadar yang sudah diciptakan Allah SWT.
Fitrah suka kepada anak telah ditunjukkan Allah SWT dalam firman-Nya, “Dijadikan indah pada manusia, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran: 14).
Keterbatasan akal, dugaan dan asumsi serta kengganan untuk berkorban menjadi orangtua memaksa manusia mengingkari fitrahnya. Ingin terbebas dari beban sebagai orangtua, terlepas dari beban kemiskinan, tidak perlu menyiapkan biaya untuk anaknya, itu asumsi dan dugaan yang akan membuat mereka menyesal di kemudian hari.
Selain menyalurkan gharizah nau’, tujuan menikah dalam Islam agar mendapatkan keturunan. Anak adalah karunia yang besar lebih tinggi nilainya dari harta, keberadaan anak adalah sarana untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya ada seseorang yang di angkat derajatnya dari Jannah”. Lalu ia bertanya, “Bagaimana aku bisa mendapatkan ini?”. Dikatakan kepadanya, “Disebabkan istighfar dari anakmu, untukmu.”
Sesungguhnya anak merupakan aset yang sangat berharga, karena anak yang saleh akan senantiasa mendoakan kedua orangtuanya. Rasulullah Saw telah bersabda, “Apabila manusia telah mati maka terputuslah dari semua amalnya kecuali tiga perkara, sedekah jariyah, Ilmu yang diambil manfaatnya dan anak shalih yang mendoakanya.” (HR Muslim).
Keutamaan tertinggi bagi orang tua adalah mempunyai anak yang saleh, yang bermanfaat bagi merekaa di dunia dan akhirat. Semua ini tidak akan dipahami oleh kaum liberalisme sekuler. Betapa sangat meruginya mereka saat memutuskan untuk menolak anugerah terbesar ini.
Dekapan sistem kapitalisme, liberalisme, sekuler yang kacau seperti ini tidak ada obat mujarab bagi manusia selain makin mendekatkan diri pada Allah SWT, Dzat yang paling tahu apa yang terbaik bagi manusia. Allahualam bish shawab.
Ety R Faturohim, Muslimah Kab. Bandung.