Lapas Over Kapasitas Penghuni, Masalah Klasik Solusi Pragmatis?
Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang, Banten, masih menjadi sorotan media, baik nasional maupun asing. Kebakaran yang sejauh ini menewaskan 45 orang tersebut, tidak hanya mengundang keprihatinan publik, tetapi juga mencuatkan persoalan klasik. Ya, ruang penjara yang over kapasitas penghuni, menjadi masalah pelik hukum di Tanah Air.
Data Kemenkumham mencatat terdapat 2.069 narapidana mendekam di Lapas Kelas 1 Tangerang. Padahal, lapas tersebut idealnya berpenghuni 900 narapidana. Mirisnya, kondisi yang sama dialami sejumlah lapas di Indonesia. Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) per 6 Mei 2021 mencatat, lapas di Indonesia mengalami over kapasitas hingga 131,077%. (Okezone.com, 7/5/2021).
Menkumham Yasonna Laoly pun angkat bicara. Ia menyebut penyebab over kapasitas penjara yaitu karena dominasi narapidana kasus narkoba. Mengingat jumlah narapidana narkoba mencapai 50% dari total narapidana di seluruh Indonesia. Alhasil, ia meyakini revisi Undang-Undang Narkotika akan dapat mengurangi jumlah narapidana narkotika di Indonesia.
Wacana membangun lapas baru untuk mengurai over kapasitas penghuni pun mengemuka. Menko Polhukam Mahfud MD disebut berencana membangun lapas di atas tanah sitaan kasus BLBI. Hal ini disampaikan oleh Mahfud MD seusai berkomunikasi dengan menkumham terkait over kapasitas lapas. (bbc.com, 8/9/2021). Namun, benarkah revisi UU Narkotika dan pembangunan lapas baru mampu menjadi jalan keluar?
Menjadi rahasia publik, jika ada peristiwa terkait lapas, over kapasitas dan kurangnya fasilitas lapaslah yang selalu menjadi fokus perbincangan. Padahal, ada masalah yang lebih urgen, yang harus segera dicari solusinya. Yakni, masalah buruk dan lemahnya penerapan sistem hukum dan peradilan, serta kriminalitas yang tak kunjung berkurang. Inilah penyebab utama arus masuk penghuni lapas yang tak dapat ditahan.
Timbulnya berbagai masalah hukum dan kriminal ini, sejatinya tidak terlepas dari penerapan sistem sekularisme atas negeri ini. Sistem ini melahirkan produk hukum sekuler, buatan manusia yang lemah dan terbatas. Alih-alih menimbulkan efek jera bagi para pelaku kriminal, hukum yang ada justru tak menyelesaikan persoalan.
Di satu sisi, kriminalitas merajalela dalam sistem ini. Kegagalan negara dalam menjamin kebutuhan dasar rakyat, mengantarkan rakyat ke jurang kesulitan ekonomi. Tekanan ekonomi, ditambah minimnya iman, akhirnya membuat orang mudah berbuat jahat lantaran kepepet. Paham kebebasan pun turut andil dalam menumbuh-suburkan angka kriminalitas. Tidak sedikit kasus narkotika, kekerasan/pelecehan seksual, dan pembunuhan timbul akibat gaya hidup bebas ala sekularisme.
Alhasil, angka kriminalitas akan terus tinggi, sebab tidak hanya peluang dan kesempatan atau tekanan ekonomi, tetapi juga karena penerapan hukum sekuler yang tidak menimbulkan efek jera. Akhirnya, rakyat pun akan terus dibelenggu rasa was-was sebab hilangnya rasanya aman.
Untuk itu, rakyat membutuhkan sistem hukum dan peradilan yang tidak hanya menyelesaikan persoalan, tetapi juga menimbulkan efek jera. Sistem yang adil dan menjamin keadilan. Sistem yang mencegah manusia berbuat kejahatan, sebab tumbuh suburnya ketakwaan. Sistem ini tidak lain adalah sistem Islam yang bersumber dari Allah SWT, Zat yang Maha Adil dan Maha Benar.
Hukum Islam merupakan hukum yang adil dan unggul. Salah satu keunggulannya adalah diterapkannya sistem hukum/sanksi yang tegas, sehingga menimbulkan efek jera bagi para pelanggar syariat. Efek jera inilah yang berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir). Maksudnya, saat hukuman/sanksi ini ditegakkan, maka para pelaku akan merasa kapok dan tidak berani mengulanginya lagi. Penerapan hukum/sanksi ini juga menjadi tebusan di dunia, sehingga terhindar dari pedihnya siksaan Allah SWT di akhirat kelak.