SUARA PEMBACA

Mantan Napi Koruptor Nyaleg, Emang Gak Ada yang Lain Lagi?

Luar biasa. Ternyata mantan rampok duit rakyat alias mantan napi koruptor dikasih jalan menuju Senayan. Peneliti ICW Kurnia Ramadhan mengatakan, total mantan terpidana koruptor yang mendaftar ke KPU per hari Sabtu, 26 Agustus 2023 pukul 12.00 WIB adalah 15 orang (kumparan.com, 27/08/2023).

Kebolehan eks terpidana koruptor nyaleg berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30 P/HUM/2018. Adalah hak politik warga negara untuk memilih dan dipilih, demikian pendapat MA. Lagipula, pembatasan eks napi koruptor nyaleg hanya berdasarkan keputusan KPU, bukan undang-undang. Justru keputusan KPU itu telah menabrak 4 undang-undang dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Dan Indonesia telah meratifikasi lewat UU Nomor 12 tahun 2005 (cnnindonesia.com, 24/08/2022). Maka muluslah langkah para mantan terpidana koruptor menjadi caleg di Pemilu 2024 ini.

Jujur, ada tanya yang mengganggu dengan fenomena ini. Apakah memang tak ada yang lain lagi hingga si mantan napi koruptor mesti nyaleg? Padahal rakyat Indonesia berjumlah 200an juta orang. Apakah bisa dipastikan ketika menang pileg si doi tidak akan korupsi lagi alias udah tobat?

Suka-Suka Tuan

Ada tiga indikasi dari kebolehan eks terpidana koruptor menjadi caleg. Pertama, hanya orang berduit yang bisa maju menjadi caleg. Memang tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan caleg DPR RI. Menurut LPM FE UI biayanya sekitar Rp1,15 miliar hingga Rp4,6 milyar. Menurut politikus Fahri Hamzah, dari 5-15 miliar. Pengakuan Cak Imin lebih fantastis, biaya jadi caleg bisa mencapai Rp40 miliar. Ngeri.

Asalkan berduit meskipun tanpa kompetensi bahkan pernah korupsi, masih punya kesempatan jadi anggota DPR RI lagi, jika terpilih.

Kedua, sistem sanksi yang tak membuat jera. Menjadi anggota DPR seakan masuk dalam kubangan korupsi yang menjijikan. Menkopolhukam Mahfud MD terang-terangan mengatakan DPR RI sebagai lembaga terkorup di Indonesia (mediaindonesia.com, 01/06/2023). Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) menempatkan anggota legislatif sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Artinya, terbuka peluang bagi si caleg mantan napi koruptor itu akan mengulangi tipikornya. Sanksi yang tak tegas tak membuat mereka takut berbuat korup lagi.

Ketiga, aturan hukum perundang-undangan yang bisa berubah-ubah. Kemaren dilarang hari ini boleh. Tergantung situasi dan kondisi. Tepatnya, tergantung siapa yang punya kepentingan. Alasan HAM memang ampuh untuk melegalkan apapun, meskipun menabrak logika dan aturan agama.

Inilah konsekuensi hidup di sistem kapitalisme. Sistem yang menjadikan sekularisme sebagai asas kehidupan dan materi menjadi orientasi hidup. Berhubung menuju Senayan butuh modal gede, maka saat duduk di kursi legislatif hanya sibuk mengembalikan modal dengan menghalalkan segala cara. Produk UU hasil karya anggota legislatif hanya menguntungkan para kapital dan menzalimi rakyat. Lihatkan UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Sistem demokrasi kapitalisme hanya melahirkan wakil rakyat yang hanya datang ke rakyat lima tahun sekali jelang Pemilu. Mengumbar segudang janji, ngemis-ngemis dan memelas-melas minta dipilih. Setelah terpilih, mana ingat lagi dengan rakyat dan janjinya. Munafik.

Menggagas Perubahan Sistem

Orang baik di sistem demokrasi kapitalisme akan kalah dengan orang yang berduit. Terbayang jika negeri ini dipimpin oleh orang-orang yang hanya bermodal duit tanpa kompetensi. Jelas akan hancur. Rasulullah Saw bersabda: “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Bukhari).

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button