Tren Merestui Kemaksiatan
Masih ingatkah kita dengan ‘keberisikan’ Barat ketika per 3 Maret 2019, Brunei Darussalam resmi memberlakukan penjatuhan hukuman mati bagi pelaku LGBT dan perzinahan sesuai dengan sistem sanksi (uqubat)?
Kala itu, sejumlah tokoh dunia termasuk Joe Biden yang saat itu belum duduk di kursi kepresidenan menulis di twitter “Merajam orang sampai mati karena tindakan homoseksual atau perzinahan adalah mengerikan dan amoral. Tidak ada alasan—baik agama atau tradisi—atas kebencian dan tak berperikemanusiaan seperti ini.”
Keberisikan Barat tidak dihiraukan, bahkan Sultan Hasanal Bolkiah bergeming, menjawab tegas tudingan Barat atas pidana LGBT, “Kami mempraktikan hak kami sebagai muslim, kenapa kalian perhatian ke kami? Sementara Anda (Barat) tutup mata saat orang Rohingya, Palestina, Syiria dibunuh? Saat anak Anda mati oleh senjata, aborsi dan AIDS?”
Sikap Indonesia sendiri kala itu lebih memilih abstain, tidak berkomentar apapun mengenai keputusan Brunei Darussalam. Di tahun 2021 ini, kaum muslimin di Indonesia dikejutkan dengan majunya transpuan Millen Cyrus yang telah Juara Miss Queen Indonesia, ke Thailand untuk kontes serupa level dunia. Publik seperti kecolongan, acara pagelaran serupa Miss Queen Indonesia tidaklah mungkin illegal mengingat banyaknya media resmi yang meliputnya. Apakah ini indikasi Indonesia mulai ‘merestui’ LGBT?
Perjalanan Mencari Restu
13 Desember 2008, PBB secara resmi mengakui hak-hak LGBT dalam Declaration on Sexual Orientation and Gender Identity. 54 negeri mayoritas muslim menolak (termasuk Indonesia) dan 94 negara mayoritas non muslim menerima. Dalam Musyawarah Nasional (Munas) IX Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhir Agustus 2015 menegaskan sikap terkait LGBT, “MUI memandang bahwa LGBT merusak keberlangsungan masa depan bangsa. Mencegah semua upaya yang menumbuh-suburkan propaganda LGBT baik melalui pendekatan hukum maupun sosial keagaaman.”
Sebelumnya, pada 6-9 November 2006, terdapat pertemuan 29 ahli HAM di UGM yang menghasilkan The Yogyakarta Principle. Dokumen ini berisi penerapan HAM internasional yang berkaitan dengan Orientasi Seksual dan Indentitas Gender disertai rekomendasi kepada Pemerintah, Lembaga antar Pemerintah Daerah, masyarakat sipil dan PBB itu sendiri.
Terbitnya majalah Out Zine oleh komunitas Arus Pelangi. “Dengan terbitnya Out Zine edisi transgender, diharapkan bisa memberikan wacana baru dan informasi yang bisa menguatkan kawan-kawan LGBT, khususnya para transgender muda.” demikian pengakuan redaktur Out Zine. Penelusuran lebih jauh, pada tahun 1982 telah ada Lamda Indonesia disusul Gaya Nusantara tahun 1987 yang membentuk forum LGBTIQ tahun 2008. Tercatat komunitas-komunitas LGBT menyelenggarakan Indonesian LGBT National Community Dialogue di Nusa dua Bali pada 12-13 Juni 2013, didukung pendanaan dari USAID dan UNDP. Tak hanya itu, aktivasi International Day Against Homophobia and Transphobia (IDAHO) setiap 17 Mei juga gencar dilakukan. Goncangan gempa dan likuifaksi di Indonesia tak menyurutkan penyelenggaraan kontes Gay di Bali pada tahun yang sama.
Kebutuhan akan Sistem Supportif
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia sejak awal telah ‘berhasil’ memanen kerusakan dari perilaku LGBT. AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981 pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles. Centre of Disease Control and Prevention AS tahun 2010 menyatakan 2/3 infeksi baru HIV berasal dari gay. Jumlah gay di AS hanya 2% penduduk, namun menempati porsi 50% penderita HIV. 1 dari 5 gay bahkan tidak peduli mereka terinfeksi, artinya tidak ada niat untuk mencegah penularan ke orang lain. Tahun 2013, screening terhadap pemuda usia 13 tahun keatas menemukan fakta, 81% LSL (lelaki suka lelaki) terinveksi HIV dan 55%nya telah mengidap AIDS.