Hari Santri, Hari Nasional..?
“Ulama itu pewaris para Nabi”. Dawuh Gusti Kanjeng Nabi Muhammad Saw ini sunguh filosofis sekaligus menggelitik untuk ditilik. Misalnya, kok pakai term “waris”? Memangnya ada korelasi antara mewarisi “Nabi” dengan warisan harta peninggalan biasa?
Yo kok juga pakai kata “al-anbiya'”, jamak, sehingga melebar ke nabi-nabi sebelum beliau. Apa tidak cukup dengan kata “pewarisku” yang berarti hanya mewarisi pribadi Nabi saja?
Tapi ini bukan studi hadis, maka diambil seenaknya saja. Kata “waris” adalah sindiran, bahwa porsi yang diwarisi ulama itu ibarat porsi warisan harta. Ada yang mendapat separuh, ada yang mendapat sepertiga, seperempat, seperenam, seperdelapan, sisa, bahkan ada yang tidak menadapat apa-apa. Meski mahjub atau suqut, tetap saja sah menyandang gelar ahli waris.
Malahan, biasanya ahli waris mahjub tidak kembali dengan tangan kosong, melainkan masih ada saja yang diperoleh meskipun lewat jalur “rizq, irtizaq”, dumduman sak welase (al-Nisa’: 8). Mungkin mendapat bajunya, sarung, cincin, akik, surban, trompah dll. Jika you ngaku pewaris Nabi, maka tanyakan pada diri anda sendiri, “oleh piro”?
Terkait Hari Santri pasti tak terpisahkan dari tokoh sentralnya, yakni Hadratus Syekh KH M. Hasyim Asy’ari. Seberapa perolehan warisan beliau, rasanya bisa digrambyang minimal segini:
Pertama, belum pernah umat Islam negeri ini bersatu dalam satu wadah organisasi kecuali hanya sekali, yaitu dalam Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) dan beliaulah pemimpinnya. Sayang hanya sebentar, lalu bubar dan belum pernah menyatu lagi.
Kedua, menjelang kemerdekaan, Jepang berbasa-basi memohon agar beliau berkenan menjadi Presiden pertama RI. Sejatinya Jepang sudah tahu bahwa beliau pasti tidak mau dan memang benar-benar tidak mau. Lalu Jepang minta fatwa dan beliau menujuk Soekarno. (Sumber: Dr (HC) KH. Shalahuddin Wahid).
Ketiga, hanya beliau yang disepakati oleh para kiai sezamannya sebagai bergelar “Hadratus Syekh” dan setelah itu tidak diberikan kepada yang lain. Maka sebaiknya kita budayakan gelar spesial ini dalam penyebutan sehari-hari. Sebaiknya dihindari panggil beliau dengan “Mbah Hasyim”, kayak mangggil mbahe dewe. Meski bernada lebih familiar, tapi menurut tradisi santri itu kurang “ta’dhima, ta’adduba”.
Keempat, hanya beliau yang dipercaya memberi fatwa resolusi jihad dan semua umat Islam tunduk terhadap fatwa itu tanpa ada koreksi hingga sekarang, baik sisi prosedur istidlal hukum, apalagi sisi tahridl al-jihad (mengobarkan semangat jihad). Bahkan, Soekarno pun meminta fatwa soal hari proklamasi kemerdekaan.
Kelima, Hasyim muda itu menimba ilmu dari banyak guru, nyantri di Shaulatiyah Makkah al-Mukarramah. Pulang menjadi tokoh agama terdepan, mendirikan Pesantren Tebuireng, menulis banyak kitab dan risalah. Beliau adalah ilmuwan aktif, karena zamannya menuntut demikian. Tidak punya karya ilmiah utuh nan tebal seperti kiai Nawawi Banten, Kiai Mahfudh Termas, Kiai Ihsan Jampes dll. Risalah yang beliau tulis adalah refleksi dari problem dan kondisi riil di masyarakat. Lalu beliau jawab dengan tulisan. Semua mulia dan masing-masing telah mewarisi para nabi sesuai porsinya. “tilk ummah qad khalat laha ma kasabat..”.