Tes Covid-19, Bisnis Manis di Kala Pandemi?
Wabah Covid-19 belum menampakan kapan akan berakhir. Karena itu, masyarakat masih diselimuti kecemasan akan pandemi ini. Sebab hal itu memiliki dampak di berbagai sektor, tak terkecuali sektor ekonomi yang makin terpuruk. Namun yang begitu menyayat hati, ketika ada saja oknum-oknum yang memanfaatkan kondisi ini untuk meraup untung.
Sebagaimana mantan Direktur Publikasi dan Pendidikan Publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Agustinus Edy Kristianto mengungkapkan sejumlah nama menteri yang disebut terafiliasi dengan bisnis tes Covid-19 baik PCR maupun Antigen.
Dalam Facebook pribadinya, Edy menyebut sejumlah nama yakni, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan; dan Menteri BUMN, Erick Thohir. Kedua menteri ini diduga terlibat dalam pendirian perusahaan penyedia jasa tes Covid-19, PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) (Tribunnews.com, 02/11/2021).
Hal itu tentu disayangkan, sebab dapat menambah beban rakyat terutama kalangan menengah ke bawah yang hendak melakukan perjalanan yang bukan sekadar travelling.
Karena seperti diketahui pemerintah telah beberapa kali menurunkan HET tarif tes PCR. Pada Senin, 5 Oktober 2021 pemerintah melalui surat edaran Menteri Kesehatan, menetapkan harga tertinggi tarif tes PCR sebesar Rp900 ribu.
Dilansir Sonora.id, pada 3 Oktober 2020, sebelum ditetapkan batas tarif, harga swab test mandiri bisa berpuluh-puluh kali lipat jika dibandingkan harga rapid test. Umumnya berkisar antara Rp1,5 juta sampai dengan Rp4 juta, tergantung waktu tunggu hasil tes yang didapatkan.
Di balik itu yang belum lama ini terungkap, ternyata harga reagen yang digunakan untuk tes PCR ternyata hanya berkisar antara Rp13 ribu hingga Rp60 ribu. Harga itu untuk reagen yang digunakan pada mesin tes PCR buatan Tiongkok.
Hussein Abri Dongoran, Redaktur Majalah Tempo, menjelaskan, berdasarkan hasil investigasi yang telah diterbitkan oleh Majalah Tempo, ada dugaan bahwa pandemi ini bukan musibah tapi berkah untuk mencari cuan besar dan cepat di dalam PCR. Ia pun menyatakan kalau dibreakdown satu PCR itu rata-rata tak sampai Rp200 ribu bahkan kalau alatnya dari China, tak nyampai Rp100 ribu untuk modal PCR (Kompas.tv, 02/11/2021).
Sungguh keadaan ini seakan tak terbayangkan sebelumnya. Bagaimana tidak, sebagai Tuan Pejabat yang memiliki amanah dalam mengurusi urusan rakyatnya, mestinya memberi kemudahan dengan harga serendah-rendahnya atau terjangkau, bahkan jika memungkinkan tak ada biaya atau gratis.
Namun apalah daya kondisi saat ini nampaknya tak ada yang bebas dari komersialisasi, walau itu berhubungan dengan salah satu kebutuhan dasar rakyat, yakni kesehatan. Sehingga wajar jika tes Covid-19 pun dapat menjadi ladang bisnis yang manis di kala pandemi. Maka tak heran dalam pandemi ini ada sebagian Tuan Pejabat yang makin bertambah hartanya, sementara di sisi lain ada rakyat yang makin terpuruk ekonominya.