Permen PPKS Bukan Solusi Kekerasan Seksual
Pada 31 Agustus 2021, Nadiem Makarim menandatangani Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permen PPKS).
Mungkin terlihat baik karena dalam Permen PPKS tersebut tercantum bahwa warga negara berhak mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual. Selain itu untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi, perlu pengaturan yang menjamin kepastian hukum dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Namun disayangkan pada pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, dan m terdapat kalimat “tanpa persetujuan korban” di akhir. Seperti pasal 5 ayat (2) huruf b yang berbunyi “memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban” dan pasal 5 ayat (2) huruf m yang berbunyi “membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban”. Kalimat-kalimat tersebut tentunya menyebabkan paradigma seks bebas dengan dalih persetujuan (sexual consent) seakan melegalisasi perbuatan seks bebas dengan dalih suka sama suka dengan persetujuan kedua belah pihak, terdengar bisa menjadi solusi bila dilihat dari perspektif korban.
Akan tetapi, apabila dilihat dari berbagai pihak, Permen PPKS ini tidak menjadi solusi justru menimbulkan masalah baru dan menimbulkan polemik di banyak pihak. Pada akhirnya masyarakat banyak mengkritisi bahwa Permen PPKS tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di Indonesia terutama oleh penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim dan merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia.
Bila dilihat dasar dibuatnya Permen PPKS ini terlihat wajar diterapkan di sistem demokrasi yang dianut pemerintah saat ini. Hal ini disebabkan sistem demokrasi memiliki 4 pilar kebebasan yaitu: kebebasan beragama, kebebasan berpakaian, kebebasan berpendapat, dan kebebasan bertingkah laku untuk mencapai kepuasan/kesuksesan dunia. Berbeda dengan Islam yang semua aktivitas ada batas-batasannya sesuai syariat untuk mencapai ridha Allah ta’ala.
Batasan-batasan yang ada dalam peraturan Islam tidak dibuat berdasarkan perspektif siapa pun dalam hal ini korban, pelaku atau lainnya, tapi batasan-batasan tersebut dibuat atas perspektif Allah SWT Sang Khaliq pencipta manusia itu sendiri. Karena Dia yang menciptakan manusia dan yang paling mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk untuk ciptaanNya, dibuatlah peraturan tentang batasan-batasan pria wanita karena pria dan wanita bisa bertemu dalam hal tolong menolong, pendidikan, dan muamalah. Itulah tujuan dari batasan-batasan interaksi pria dan wanita agar tidak terjadi hal-hal seperti kekerasan dan kekerasan seksual.
Pria dan wanita hakikatnya terpisah, tidak ber-ikhtilath (campur baur), tidak ber-khalwat (berdua-duaan), dan menundukkan pandangan, baik itu tanpa persetujuan maupun dengan persetujuan kedua belah pihak karena kedua-duanya melanggar peraturan Allah kecuali dengan pernikahan yang diridhai-Nya. Selain itu, cara berpakaian pun diatur dalam Islam dengan adanya batasan-batasan aurat untuk pria (pusar hingga lutut) dan wanita (seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan).
Semua aktivitas diatur dengan begitu sempurna oleh Sang Khaliq dari awal sehingga tertutup pintu-pintu yang mengarah kepada kekerasan termasuk kekerasan seksual yang sangat merugikan wanita dan untuk menjaga hamba-Nya dari bentuk-bentuk kejahatan, kesengsaraan dan kekerasan lain yang akan merugikan.
Tentu saja peraturan-peraturan Islam tersebut tidak bisa diterapkan oleh individu saja, atau masyarakat saja. Harus ada negara yang berperan aktif menerapkan peraturan Islam untuk menjaga masyarakat dari kesengsaraan dunia dan akhirat, sehingga tercipta Islam rahmatan lil alamin. []
Dessy Fatmawati S.E., Aktivis Dakwah di Depok.