SUARA PEMBACA

Kasus Pelecehan Parimo, Darurat Kekerasan Seksual pada Anak

Bejat! Di Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah belasan orang tega melecehkan seorang remaja (R 15Thn) di waktu dan tempat yang berbeda. Akibatnya, R mengalami infeksi akut pada alat reproduksinya hingga harus dilakukan operasi pengangkatan rahim.

Beberapa orang pelaku bejad ini diantaranya anggota Brimob dan menduduki jabatan perwira polisi, seorang kepala desa bahkan terdapat seorang ASN guru. Sungguh kian membuat geram. Sosok-sosok yang seharusnya mengayomi masyarakat, malah menjadi pelaku tindakan bejat.

Kasus tersebuti hanyalah ibarat puncak gunung es. Kasus-kasus yang tidak terberitakan atau dilaporkan diduga jauh lebih banyak. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), pada 2022, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia mencapai 9.588 kasus, meningkat drastis dari tahun sebelumnya (4.162 kasus). Kemen PPPA sampai menetapkan status darurat kekerasan seksual terhadap anak.

Melihat hal ini sudah seharusnya pemerintah dan berbagai pihak ikut mengevaluasi mengapa masalah ini tak kunjung tuntas.

Misalnya, dari aspek hukum dan sanksi untuk pelaku kekerasan seksual pada anak. Apakah sudah mampu mencegah dan memberi efek jera? Berdasarkan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar (Kompas, 6-1-2022). Dengan sanksi ini nyatanya belum membuat angka kekerasan seksual pada anak menurun.

Pada kasus parimo tadi, sempat mencuat juga perbedaan sebutan apakah itu pemerkosaan atau persetubuhan. Tataran definisi yang rancu saja sudah bingung dan berbeda-beda, bagaimana urusan menegakan keadilannya?

Belum lagi aspek media yang bebas, sarat dengan konten-konten pornografi. Hal ini terbukti menjadi pemicu terbangkitkannya syahwat, sehingga mendorong untuk dilampiaskan kepada siapapun atau dengan cara apapun. Akibatnya, anak bukan hanya menjadi korban, bahkan menjadi pelaku.

Faktor lingkungan yang tidak ramah anak pun bisa menjadi pemicu. Apalagi kekerasan seksual terhadap anak kerap dilakukan oleh orang terdekat. Masyarakat yang individualis pun ikut bertanggung jawab, karena kurangnya kepedulian, apalagi soal amar makruf nahi munkar. Sehingga kontrol masyarakat akan tindak kejahatan sangat kecil.

Aspek lainnya sangat berkelindan, antara kurangnya pendidikan, alkohol, kemiskinan, gaya hidup hedonis, semuanya membuka ruang terjadinya banyak kasus kekerasan seksual. Artinya, permasalahan ini bukan karena faktor tunggal, melainkan sistemik.

Untuk itu, solusinya pun tidak bisa jika pragmatis atau diselesaikan hanya dari satu aspek. Butuh solusi sistemik.

Islam sebagai sebuah sistem kehidupan mampu memberi solusi tuntas bagi permasalahan ini. Bagaiamana? Semua aspek penyebab tadi, akan diselesaikan satu per satu.

Dari aspek hukum misalnya. Karena sistem Islam berasaskan akidah Islam dan aturannya berasal dari Allah, maka akan dipastikan adil dan memberi efek jera. Sanksi bagi pelecehan seksual yang terkategori zina, hukumannya adalah 100 kali dera bagi pelaku yang belum menikah dan hukuman rajam bagi pelaku yang sudah menikah. Hukuman yang berat ini pasti akan mencegah orang melakukan kejahatan sekaligus membuat jera orang yang terlanjur melakukan.

Aspek pengaturan media massa dalam Islam pun akan menstop total semua konten pornografi-pornoaksi. Sehingga tidak ada rangsangan yang bisa mendorong terjadinya kekerasan seksual. Hal ini didukung oleh Sistem pendidikan Islam yang melahirkan pribadi bertakwa sehingga tidak akan mudah tergoda untuk bermaksiat. Apalagi dalam Islam, pergaulan kehidupan laki-laki dan perempuan sangat dibatasi, kecuali ada keperluan yang dibenarkan syarak.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button