IKN Nusantara: “Jokowi dan Ahok Hoka Hoak …Hoka-Hoka Bento”
RUU Ibu Kota Negara (IKN) resmi sudah diratifikasi oleh DPR menjadi UU. Dari fraksi sembilan partai, hanya PKS yang menolak. Ini menandai niat “kebulatan tekad” mereka itu “hantam kromo” jelas berbalut selimut tebal KKN.
Makanya, sungguh kentara sangat-sangat dipaksakan, bahkan terlalu terburu-buru entahlah kita sendiri nggak ngerti apa sih yang mereka kejar.
Betapa tidak mempertimbangkan urgensinya di tengah-tengah kondisi perekonomian negara kita yang sedang terpuruk.
Terlebih, masih dihadapkan masalah besar dan krusial pandemi Covid-19 yang seharusnya Pemerintah wajib melindungi rakyatnya sekuat-kuatnya dengan segala daya upaya supaya tidak kembali terjadinya tingkat kematian yang tinggi.
Nyatanya, upaya pemerintah menanggulangi masalah Pandemi Covid -19 yang lalu pun masih acak adut, masih banyak menyisakan masalah yang justru menyengsarakan rakyat.
Niat mereka pun sungguh masih amat jauh dari — jika disemangati dengan nilai kepentingan “The Nation State Building” sebagai landasan visi misi eksistensi kedaulatan dan kebangsaan.
Melainkan, hanya mementingkan kepentingan segelintir orang yang kembali landasannya adalah eskalasi anomali kekuatan ekonomi bentuknya berupa “buisness assasination” berbau keserakahan dan kerakusan: lagi-lagi di bawah kendali dan cengkeraman oligarki konglomerasi. Apa indikasinya?
“Faktor Jokowi-Ahok”
Persoalannya, pemindahan IKN adalah kembali kepada “faktor Jokowi-Ahok”. Mengulang kembali membuka sejarah reklamasi di pantai Teluk Utara Jakarta, Ahok yang menjadi mediator oligarki konglomerasi untuk mendapatkan “ongkos politik” Jokowi terpilih menjadi Presiden RI, adalah sahabat karib patut diberi balas budi —seperti sudah dibilang oleh Luhut Binsar Panjaitan. Meski ada empat calon itu adalah alasan formalitas saja. Sesungguhnya, Ahok sudah ditunjuk oleh Jokowi sebagai Kepala Otorita IKN Nusantara.
Bukan sekadar balas budi menjadikan Ahok Komisaris Utama di Pertamina itu belum cukup, tapi seperti ungkapan Tifatul Sembiring di Tweet: “mata sipit Ahok yang tak perlu dipicingkan” menjadi faktor strategis untuk jualan: menghubungkan ke jaringan oligarki konglomerasi yang boleh jadi disebut oleh Rizal Ramli ke poros Beijing RRC.