Bahasa Melayu: Dihina Belanda, Dibela Tokoh Islam
“Een Holandsche Kwajongen”, kurang lebih artinya “Begajul Belanda “, adalah artikel dalam Bahasa Belanda yang ditulis oleh Syafruddin Prawiranegara di Majalah USI (Unitas Studiosorum Indoneesiensis / Perhimpunan Mahasiswa Indonesia). Artikel tersebut merupakan protes atas pernyataan Profesor Eggens, yang menyebutkan bahwa Bahasa Indonesia (yang saat itu disebut Bahasa Melayu) merupakan bahasa primitif yang tidak mungkin menjadi bahasa ilmu.
Menurut Syafruddin pendapat itu tidak layak keluar dari mulut seorang guru besar, apalagi Prof. Eggens baru saja datang dari Belanda dan belum mempelajari Bahasa Indonesia secara mendalam. Oleh Senat Fakultas (Dewan Guru Besar) melalui ketuanya, Prof. Zeylemaker, Syafruddin disuruh meminta maaf. Tapi, Syafruddin hanya bersedia meminta maaf jika Prof. Eggens meminta maaf terlebih dahulu kepada Bangsa Indonesia umumnya, dan kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia, khususnya (Ajip Rosidi, Sjafruddin Prawiranegara, Lebih Takut Kepada Allah SWT, cet. II (Jakarta : Pustaka Jaya, 2011:83)
Keberpihakan terhadap Bahasa Melayu juga diperlihatkan oleh Haji Agus Salim. Cendekiawan yang menguasai tujuh bahasa, dan sangat fasih berbahasa Belanda ini, lebih memilih untuk menggunakan Bahasa Melayu, saat berpidato di sidang Voolkstraad, meskipun oleh pimpinan sidang diminta untuk menggunakan Bahasa Belanda. (http:/m/republika.com/berita/khazanah/12/04/24/m2yi6c-haji-agus-salim-sang-pembela-kebenaran).
Bahasa Melayu pada saat itu memang merupakan bahasa yang dibenci oleh penguasa kolonial Belanda sebab identik dengan bahasa umat Islam. Memang, seiring dengan perpindahan massal keagamaan masyarakat di kepulauan Nusantara kepada Islam, maka bahasa masyarakat setempat mengalami Islamisasi dengan cepat. Hal ini dikarenakan sifat intrinsik Islam yang sangat membutuhkan penalaran logis dan rasional dalam pemahamannya, sehingga Islam itu sendiri sering dikategorikan sebagai scientific religion.
Keharusan Islamisasi Bahasa untuk keperluan pemahaman Al-Qur’an ini dapat dilihat dari pernyataan Prof. Syed Naquib Al Attas bahwa: “Bahasa pertama yang mengalami Islamisasi adalah bahasa Arab itu sendiri. Dimana bahasa Arab setelah turunnya Al-Qur’an menjadi bahasa arab “baru” dan tersempurnakan, yang memuat konsep-konsep dasar Islam, yang tidak berubah dan dipengaruhi perubahan sosial” (Al Attas, Islam dan Sekularisme (cet II), (Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan /PIMPIN, 2011).
Istilah Islamisasi Bahasa Melayu lebih tepat digunakan daripada Arabisasi, sebab motif penyerapan bahasa Arab ke dalam bahasa lokal variabel utamanya adalah upaya untuk mendalami Al-Qur’an. Itu seperti dikemukakan oleh A.H. Johns: “Kitab suci Al-Qur’an memiliki peranan sentral dalam kehidupan umat Islam, dan semua komunitas umat Islam membutuhkan salinan kitab suci itu. Oleh sebab itu, menyalin Al-Qur’an, mengajarkan aturan melafalkannya, serta menerjemahkan makna ke dalam bahasa setempat merupakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan.” (Lihat, A.H. Johns, Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu, Sebuah Renungan, dalam Henri Chambert-Loir et. al, Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta : KPG, 2009).
Terjemahan pertama Al-Qur’an dengan tafsirnya ke dalam Bahasa Melayu adalah Tafsir Al Baydawi yang masyhur, yang menandai kebangkitan rasionalisme dan intelektualisme yang sebelumnya tidak berlaku di Kepulauan Melayu-Indonesia (Al Attas, Ibid: 217). Karya yang bersifat rasional dan filosofis pun bermunculan, seperti Tarjuman al Mustafid karya ‘Abd al-Rauf al-Singkili (1615 – 1693) yang merupakan saduran terbuka dari Tafsir Jalalayn. Kitab al-‘Aqaid al-Nasafiya karya Njm al-Din Al-Nasafi diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu Aceh di tahun 1590 dan masih banyak karya penerjemahan lain yang akhirnya memperkaya Bahasa Melayu Islam.
Denis Lombard, memperkirakan ada 3.000 peristilahan Melayu yang berasal dari bahasa Arab dan Arab-Parsi (Lombard, 2008 : 163) . (Lihat, Vladimir Braginsky, Jalinan dan Khazanah Kutipan, Terjemahan Dari Bahasa Parsi dalam Kesusasteraan Melayu, dalam Henri Chambert-Loir et. al, Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2009, dan Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Buku I, Batas-Batas Pembaratan (cet. IV), (Jakarta : Gramedia, 2008)
Kata-kata serapan dari bahasa Arab yang digunakan dalam bahasa Melayu berkisar 15 – 20 persen (Johns, Ibid, 2009:49). Bahasa Melayu mengalami suatu perubahan besar, dimana, ia menjadi bahasa pengantar utama untuk menyampaikan Islam ke seluruh Kepulauan Melayu (Al Attas, Ibid, 216).
Huruf sebagai wujud perlambangan bilangan, nada atau ujaran juga mengalami perubahan seiring Islamisasi Bahasa ini. Huruf Pallawa dan Pranagari tidak lagi mampu menampung peristilahan yang masuk ke dalam Bahasa Melayu, dan akhirnya memunculkan Huruf Arab Jawi sebagai medium dalam penulisan Bahasa Melayu.