Bekicot Darat, Halalkah Dikonsumsi?
Assalamualaikum wr. wb. Seiring dengan dinamika yang terjadi di masyarakat, ada sekelompok masyarakat dan rumah makan yang memanfaatkan bekicot sebagai salah satu menu untuk pangan. Dengan teknik tertentu mereka bisa mengolah bekicot darat yang semula berlendir dan mengandung racun menjadi masakan yang siap disantap.
Sebagai muslim, saya pribadi masih merasa jijik jika harus menyantap bekicot darat tersebut. Terlebih lagi, belum ada kejelasan mengenai kehalalannya. Oleh karena itu, melalui forum ini kami mohon penjelasan dari ustaz mengenai hukum mengonsumsi bekicot darat tersebut. Terima kasih atas jawaban dan penjelasannya. Wassalamualaikum wr. wb.
Hasyim Azhar, Rejang Lebong, Bengkulu.
Jawaban:
Waalaikumsalam wr. wb.
Firman Allah SWTmemerintahkan untuk memakan yang baik, serta mengharamkan segala hal yang buruk. “….dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…” QS. Al-A’raf (7): 157.
“Hai Rasul-Rasul! Makanlah dari makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mu’minun 23: 51).
Allah SWT juga menegaskan larangan memakan jenis barang tertentu seperti bangkai. “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu memakan hewan) yang disembelih untuk berhala…” (QS. Al-Ma’idah [5]: 3).
Hadits Nabi Saw, antara lain: “Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang musyta-bihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat, sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya…” (HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir).
“Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Tidak boleh membahayakan/merugikan orang lain dan tidak boleh (pula) membalas bahaya (kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan bahaya (perbuatan yang merugikannya).” (HR. Ahmad)