Pemindahan IKN Tuai Polemik, Mainkan Politik Klenik?
Undang-undang IKN telah disahkan. Kepala dan Wakil Otorita IKN Nusantara pun telah ditetapkan. Namun polemik pemindahan IKN semakin menderas. Awal Februari tadi, sejumlah tokoh nasional mulai dari purnawirawan, akademisi, hingga eks pimpinan KPK membuat petisi yang berjudul ‘Pak Presiden, 2022-2024 Bukan Waktunya Memindahkan Ibukota Negara’ (cnbcindonesia.com, 05/02/2022). Hingga Senin (21/02/2022) pagi, ada 32.851 orang yang sudah menandatangani petisi tersebut di laman change.org.
Diskursus pemindahan IKN juga terjadi di lingkaran TNI-POLRI. Presiden pun mengkritisinya dan menegaskan bahwa keputusan pemindahan IKN sudah final dan tak bisa diganggu gugat. Kekeuh banget.
Demi meredam polemik IKN, diduga kuat politik klenik pun dijalankan. Presiden menggelar ritual Kendi Nusantara di nol kilometer IKN Nusantara.
Disediakan gentong besar, yang disebut bejana Nusantara. Gentong itu menjadi wadah penyatuan tanah dan air yang dibawa oleh para gubernur. 34 gubernur propinsi membawa satu liter air dan dua kilogram tanah yang diambil dari daerah masing-masing.
Dalam sambutannya, Presiden Jokowi menjelaskan ritual kendi Nusantara sebagai bentuk dari kebhinekaan dan persatuan yang kuat dalam rangka membangun IKN Nusantara. Jokowi juga berharap dukungan terhadap pembangunan IKN Nusantara terus mengalir dari berbagai instansi dan pemerintah (tempo.co, 14/03/2022).
Zaman memang sudah berubah, semua serba canggih, serba digital, era metaverse katanya. Namun untuk hal klenik dalam mencapai tujuan ternyata tetap ada sejak dulu hingga sekarang.
Kalau dulu bagsa Arab jahiliah melepaskan burung sebelum bepergian. Ke mana arah burung terbang, maka ke arah situlah mereka pergi. Harapannya, perjalanan mereka menjadi lancar dengan mengikuti arah burung terbang.
Di negeri +62, paranormal alias dukun laris manis jelang pemilu. Tak terhitung banyaknya caleg dan politikus yang mendatangi para dukun. Ritual mandi kembang pun dijalani. Jimat, keris, batu akik menjadi sangu dari sang dukun saat si politikus melaju dalam kontes pemilu. Semua demi memuluskan jalan menuju kursi singgasana kekuasaan.
Apapun caranya, semua sah-sah saja di sistem demokrasi. Asas sekularisme menjadikan manusia menghalalkan segala cara dalam meraih tujuan. Meskipun harus melanggar larangan Allah SWT.
Parahnya, tujuan hidup pun hanya seputar harta dan tahta. Kebahagiaan yang semu, seperti fatamorgana. Kebahagiaan yang tak pernah terpenuhi dengan tuntas, seperti meminum air laut, semakin diminum semakin haus. Jadi klop dengan asas sekularisme, agar bisa berbuat sesuka hati tanpa batas dan aturan.