Sistem Zonasi Jadikan Dikotomi Sekolah Unggulan dan Pinggiran Kian Tajam?
Pelaksanaan PPDB menyisakan masalah baru. Sistem zonasi yang sedianya diterapkan untuk meningkatkan akses layanan pendidikan yang berkeadilan rupanya belum sukses mengurai problem pemerataan pendidikan. Di berbagai daerah, nasib sekolah negeri begitu miris. Pasalnya, beberapa sekolah negeri ada yang hanya menerima satu siswa baru. Seperti yang terjadi di SDN 197 Sriwedari Surakarta, Jawa Tengah yang hanya mempunyai satu murid baru hasil PPDB secara daring.
Kepala SDN 197 Sriwedari Surakarta, Bambang Suryo Riyadi mengatakan, sejak diterapkan sistem zonasi memang dari tahun ke tahun jumlah siswa baru cenderung menurun. Apalagi, SDN Sriwedari No 197 letaknya tidak berada di tengah perkampungan. (Tirto, 8/7/2022)
Senasib dengan SDN Sriwedari, SDN Jalen, Kecamatan Balong, Ponorogo juga hanya menerima satu siswa baru pada tahun ajaran baru ini. Jumlahnya siswanya cenderung menurun dalam lima tahun terakhir. Di Kecamatan Kartoharjo, Magetan, SDN 1 Desa Ngelang juga kedapatan hanya menerima dua siswa baru. Jumlah siswa di sekolah tersebutt memang sedikit, dari kelas 1 sampai 6 totalnya berjumlah 33 siswa. Dikotomi antara sekolah unggulan dengan pinggiran kian tajam. Kesenjangan baik dari kualitas guru dan fasilitas penunjangnya makin menganga. Inikah dampak kebijakan zonasi?
Dampak Zonasi
Sistem zonasi tampaknya memberikan dampak yang sangat kentara bagi sekolah negeri dan swasta. Banyak sekolah negeri “dipaksa” bersaing dengan sekolah swasta. Apa saja efek yang ditimbulkan dengan adanya sistem zonasi?
Pertama, adanya sistem zonasi menyulitkan bagi sekolah negeri yang lokasinya jauh dari perkampungan atau pemukiman penduduk. Apalagi jika lokasi tersebut sulit mendapat akses transportasi dan jalan yang memadai. Faktor lokasi dan transportasi akan menjadi penghalang bagi sekolah untuk menerima siswa baru.
Kedua, perbedaan fasilitas dan infrastruktur sesama sekolah negeri. Kebanyakan, fasilitas sekolah negeri yang sepi peminat sangat kontras dengan sekolah negeri unggulan. Ketimpangan inilah yang membuat para orang tua terkadang rela pindah rumah atau memanipulasi kartu keluarga ke rumah kerabat atau saudara yang berdekatan dengan sekolah unggulan agar anaknya diterima di sekolah tersebut. Sebab, jalur zonasi memang mengharuskan sekolah menerima siswa baru yang rumahnya berdekatan dengan lokasi sekolah.
Ketiga, sistem zonasi membuat sekolah negeri kehilangan pamor akibat kalah bersaing dengan sekolah swasta yang lokasinya saling berdekatan. Kebanyakan orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah swasta yang fasilitas dan kualitasnya lebih mumpuni dibandingkan sekolah negeri.
Keempat, adanya anggapan sekolah negeri minim layanan dan fasilitas yang berkualitas. Saat ini, banyak sekolah swasta yang menawarkan program unggulan yang lebih baik, seperti program tahfiz Al-Qur’an, ekstrakurikuler dengan pilihan banyak, dan porsi jam pelajaran agama lebih banyak. Kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan Islam bagi anak-anak mereka juga semakin besar. Kebutuhan akan agama (baca:Islam) untuk anak-anak bak gayung bersambut dengan hadirnya sekolah swasta berbasis Islam. Tidak ayal, sekolah negeri semakin sepi peminat dan tertinggal.
Kelima, perbedaan infrastruktur dan fasilitas sekolah negeri dan swasta. Ada stigma di masyarakat, jika anaknya ingin mendapatkan pendidikan berkualitas, jangan di sekolah negeri yang minim fasilitas, lebih baik di sekolah swasta meski biayanya lebih mahal. Jangankan negeri dan swasta, yang sesama negeri saja juga banyak yang kontras. Bahkan, masyarakat memberikan label dengan sebutan sekolah “unggulan” dan “pinggiran atau buangan”. Label inilah yang menambah daftar panjang ngenesnya nasib sekolah negeri di tengah gempuran sekolah swasta dan negeri yang lebih unggul.