Wajah Jahat Media Sekuler
Dalam naungan sistem yang jauh dari fitrah, berbagai bentuk kejahatan menjadi lumrah. Penipuan, pencurian, pelecehan, pemerkosaan, hingga pembunuhan menjadi menu berita. Kejahatan dapat dilakukan siapa saja, mulai dari orang awam hingga penguasa. Namun, saat oknum pelakunya berkaitan dengan simbol keislaman, mengapa begitu masif diberitakan hingga di-framing jahat?
Menolak lupa, bagaimana media sekuler begitu viral memberitakan penyalahgunakan dana umat yang diduga dilakukan oleh oknum pengurus Aksi Cepat Tanggap (ACT). Belum juga dilakukan pemeriksaan, rekening ACT diblokir, izinnya pun dicabut. Publik pun digiring untuk tidak lagi menyalurkan donasinya pada ACT. Tergerus sudah kepercayaan umat terhadap ACT, karena framing jahat media sekuler.
Cerita pun belum usai. Muncul pemberitaan viral tentang pelecehan dan pemerkosaan santriwati yang diduga dilakukan oleh anak kiai di Jombang. Polanya pun sama. Cabut izin dulu, baru mikir kemudian. Padahal oknum pelakunya yang semestinya diberi sanksi. Meskipun akhirnya Kemenag membatalkan pencabutan izin tersebut, tetapi publik sudah terlanjur trauma. Kepercayaan publik terhadap pesantren pun mulai luntur. Lagi-lagi, ini karena ulah media sekuler.
Ya, kejadian yang biasa terjadi menjadi luar biasa jika ada embel-embel Islam yang menyertainya. Padahal berbagai kasus kekerasan seksual dan penyalahgunaan dana umat dapat terjadi di lembaga apa pun. Alhasil, semestinya media bersikap sama dalam hal pemberitaan. Tidak diskriminatif dan lebay hanya pada lembaga yang berbasis keislaman saja. Apalagi terburu-buru mencabut izinnya. Sikap yang sungguh tidak bijak dan memicu kegaduhan di tengah publik.
Masifnya pemberitaan kasus kekerasan seksual di pesantren dan penyalahgunaan dana umat lembaga filantropi, sejatinya makin menunjukkan wajah media sekuler yang makin jahat. Media sekuler hari ini telah sukses menjaga kelestarian islamofobia dengan mencitraburukkan Islam dan umatnya. Sehingga mengikis kepercayaan umat terhadap para ulama dan lembaganya.
Peran media sekuler ini terbukti sejalan dengan apa yang diharapkan Barat, sebagaimana termaktub dalam dokumen penting “Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategy” yang ditulis oleh Cheryl Bernard.
Peneliti dari Rand Corporation tersebut merekomendasikan strategi media sekuler dalam mencitraburukkan Islam dan umatnya, yakni pertama, “encouraging journalists to investigate issues of corruption, hypocrisy, and immorality”. Dalam hal ini, mendorong media untuk mempublikasikan secara masif berita tentang kelemahan dan kesalahan para tokoh dan orang yang mengelola pesantren dan lembaga keislaman lainnya. Misalnya, korupsinya, kemunafikannya, dan tindakan tidak bermoral seperti penyalahgunaan dana umat, pelecehan seksual, dan pemerkosaan.
Kedua, “exposing their relationships with illegal groups and activities“. Dalam hal ini, menyajikan berita tentang keterkaitan tokoh atau pengelola lembaga dengan kelompok yang dilabeli ekstremis, radikal, dan teroris di tengah publik.
Strategi jahat media sekuler ini tidak lain bertujuan untuk memutus mata rantai kepercayaan umat terhadap simbol pendidikan Islam, yakni pesantren. Di sisi lain, juga menggerus kepercayaan umat terhadap lembaga kemanusiaan Islam, sekaligus menggiring umat agar menjauhi dan menumbuhkan rasa waspada untuk menyumbangkan dana pada lembaga tersebut.
Inilah sejatinya wajah jahat media dalam naungan sekularisme-kapitalisme. Tidak hentinya menyudutkan dan mencitraburukkan Islam dan umatnya. Alhasil, kita wajib waspada! Jangan sedikit pun kita lengah hingga terseret arus strategi jahat media sekuler. Saatnya pula jurnalis dan media Islam mengambil perannya di tengah umat, yakni menjadi pencerah di tengah gelapnya fitnah yang ditimpakan pada Islam dan umatnya. Wallahu’alam bissawab.
Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan