Datangi Perwakilan PBB di Jakarta, TP3 Adukan Penanganan Kasus KM 50
Jakarta (SI Online) – Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) dan Universitas Indonesia (UI) Watch mendatangi kantor Perwakilan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jakarta pada Selasa (15/11/2022).
Tujuannya, untuk mengadukan penanganan kasus pembunuhan enam laskar pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) pada 7 Desember 2020 yang dinilai belum tuntas.
“Kami menyampaikan surat kepada pimpinan PBB yang ada di Jakarta bahwa pembunuhan terhadap enam pengawal HRS yang tejadi pada Desember 2020 sampai sekarang proses hukumnya masih belum tuntas,” kata Sekretaris Umum TP3 Marwan Batubara dalam keterangannya usai mengadu ke perwakilan PBB di Jakarta.
Marwan mengatakan, harapan dari upaya mengirimkan surat kepada perwakilan PBB tersebut minimal memberitahukan bahwa ini ada masalah yang masih belum tuntas.
“Rakyat menuntut, terutama menuntut janji Presiden Jokowi yang katanya ingin menuntaskan kasus ini secara adil, transparan dan dapat diterima publik,” ujar Marwan.
Menurutnya, janji tersebut selalu ia ingatkan kembali. “Karena merupakan janji dari seorang Presiden RI, tapi kenapa justru beliau membiarkan terjadinya pengadilan yang disebut pengadilan ‘ecek-ecek’ atau komedi,” tutur Marwan.
Ia menjelaskan bahwa proses hukum pengadilan kasus tersebut tidak pro justitia, tidak mengikuti aturan hukum yang ada di Indonesia.
“Yaitu proses hukum harus dimulai dari penyelidikan, sementara proses penyelidikan sendiri belum pernah dilangsungkan, yang ada hanya laporan pemantauan oleh Komnas HAM yang dilaporkan kepada Presiden Jokowi,” jelasnya.
Menurut Marwan, pemantauan tersebut tidak bisa diterima karena faktanya bahwa pelanggaran yang terjadi adalah kejahatan sadis yang masuk kategori pelanggaran HAM berat menurut UU No 26 tahun 2000.
Oleh karena itu, pihaknya berharap laporan yang dilakukan ke PBB bisa membantu upaya penuntasan kasus ini.
“Laporan ke Perwakilan PBB di Jakarta ini dilakukan agar PBB membantu kita, dan kasus ini dapat disidangkan sesuai UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), karena kasus ini memang merupakan kasus pelanggaran HAM berat, bukan kasus pidana biasa,” tandas Marwan.
red: adhila