Putusan PN Jakpus Buat Kegaduhan Nasional dan Penyalahgunaan Kewenangan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berawal dari gugatan Partai Prima pada 8 Desember 2022 lalu. Bahwa dalam gugatannya Partai Prima merasa dirugikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam melakukan verifikasi administrasi partai politik yang ditetapkan pada Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu.
Dari hal tersebut mengakibatkan Partai Prima dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) sehingga tidak bisa mengikuti verifikasi faktual.
Partai Prima mengaku mengalami kerugian immateriil yang memengaruhi anggotanya di seluruh Indonesia akibat tindakan KPU. Oleh sebab itu, Partai Prima pun meminta PN Jakpus menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih-kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari sejak putusan dibacakan.
Hasilnya, hakim mengabulkan gugatan Partai Prima. Hakim memerintahkan KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024.
PN Jakpus Melanggar Yurisdiksi
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) Pasal 10 menjelaskan “pada saat Peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku, perkara perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang diajukan ke Pengadilan Negeri tetapi belum diperiksa, dilimpahkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undang. Hal ini kemudian diperkuat oleh Pasal 11 yang menyatakan bahwa Perkara perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang sedang di periksa oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Negeri harus menyatakan tidak berwenang mengadili.
Sehingga sengketa terkait proses, administrasi serta hasil pemilu itu diatur secara tersendiri oleh hukum. Selanjutnya pada Pasal 470 dan 471 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang mengatur bahwa dalam hal penegakkan hukum pemilu, termasuk soal pendaftaran dan verifikasi partai politik, saluran yang bisa ditempuh oleh partai politik hanyalah melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Jika tidak selesai, maka upaya hukumnya hanya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Oleh karena itu kompetensi dari pada sengketa pemilu itu bukan ranah Pengadilan Negeri tetapi dari BAWASLU dan PTUN.
Majelis Hakim PN Jakpus Keliru
Bahwa hal ini bertentangan dengan amanat konstitusi berdasarkan UUD 1945 lewat Pasal 22E ayat (1). Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Putusan ini tidaklah bisa dianggap sebagai produk hukum peradilan karena PN Jakpus tidak menjalankan apa yang menjadi yurisdiksinya. Putusan ini cacat hukum dan berpotensi menciptakan kekacauan ketatanegaraan.
Konsekuensinya pun sangatlah serius, karena kekuasaan pemerintahan baik dari Presiden hingga lembaga-lembaga negara lainnya akan membuat kehilangan legitimasinya apabila pesta demokrasi ini tidak dilaksanakan sesuai dengan agenda konstitusional yang kemudian akan menjadi preseden buruk demokrasi bagi negara Indonesia kedepan.
Gugatan Partai Prima Tidak Ada Korelasinya dengan Penundaan Pemilu
Secara normatif yang diatur dalam UU PEMILU Nomor 7 Tahun 2017, konteks penundaan adalah susulan dan lanjutan. Dapat diartikan bahwa tidak boleh ada penundaan Pemilu untuk seluruh tahapan secara nasional. Karena penundaan ini hanya diperbolehkan manakala bersifat genting saja. Misalnya yaitu telah terjadi bencana di daerah tertentu, sehingga penundaan ini hanya boleh dilaksanakan di daerah tersebut saja. Daerah lain harus tetap berjalan seperti biasa.