Depo Plumpang Terbakar, Keselamatan Rakyat Terabaikan?
Kebakaran Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara, masih menyita perhatian publik. Tidak hanya menambah daftar panjang derita rakyat, tetapi juga makin menunjukkan wajah penguasa yang kian abai terhadap keselamatan rakyat. Miris, saat pejabat dan anaknya pamer harta, rakyat justru tak henti ditimpa nestapa.
Menteri Badan Usaha Milik Negara, Erick Thohir, dikabarkan akan merelokasi Depo Pertamina Plumpang ke lahan Pelindo. Keputusan ini diambil sebagai buntut insiden kebakaran Depo Plumpang pada Jumat malam (3/3) yang menewaskan puluhan orang. Menurutnya, relokasi ini bertujuan untuk melindungi masyarakat. (tempo.co, 8/3/2023).
Puluhan nyawa rakyat melayang, negara baru bertindak. Begitulah rupa penguasa di negeri ini. Sebab menjadi rahasia publik, bukan kali ini saja kebakaran terjadi di depo dan kilang minyak Pertamina. Tercatat ada tujuh kali kebakaran terjadi di kilang Cilacap sejak 1995. Tiga kali kebakaran juga pernah terjadi di kilang Balongan sejak 2007. Sementara di Depo Plumpang, kebakaran pada Jumat lalu adalah yang kedua sejak 2009. (bbc.com, 6/3/2023).
Berulang kali terjadi kebakaran, semestinya menjadi alarm bagi penguasa untuk menjaga keselamatan rakyat. Namun, faktanya tidaklah demikian. Di Depo Plumpang misalnya, wilayah sekitar depo yang seharusnya tidak menjadi tempat hunian warga, justru terus dibiarkan berkembang, bahkan dilegalisasi dengan pemberian KK dan KTP. Tercatat, pemerintah telah menerbitkan lebih dari 1.000 KTP dan ratusan kartu keluarga untuk warga Tanah Merah pada 2013. (bbc.com, 6/3/2023).
Sudah tahu lahan berisiko tinggi karena berdekatan dengan objek vital, tetapi mengapa pemerintah justru melegalisasi keberadaan warga di lahan tersebut? Inilah bukti minimnya perhatian penguasa terhadap keselamatan rakyat. Tidak heran, jika rakyat kembali jadi korban.
Musibah kebakaran Depo Plumpang sejatinya menunjukkan kegagalan tuan penguasa dalam aspek tata kelola lahan dan kependudukan. Ya, pembangunan yang beraroma kapitalisme nyata tidak hanya meminggirkan hak dan kepentingan rakyat, tetapi juga mengabaikan keselamatan rakyat.
Di sisi lain, negara juga gagal memenuhi kebutuhan papan rakyat. Pemukiman elite dibangun megah, sedangkan lahan warga digusur dengan tega. Pembangunan pemukiman memang gencar dilakukan, tetapi nyata bukan untuk melayani kebutuhan papan rakyat papa. Akhirnya, tidak sedikit warga yang membangun gubuk di lahan-lahan kosong yang berdekatan dengan objek vital berisiko tinggi. Bertaruh nyawa menetap di zona bahaya.
Keselamatan rakyat semestinya menjadi hal pertama dan utama bagi penguasa. Prinsip ini harus menjadi asas dalam tata kelola lahan dan kependudukan. Ironisnya, prinsip ini seolah tidak tampak dalam pembangunan yang beraroma kapitalisme hari ini. Dalam naungan sistem ini, pembangunan justru dibangun di atas asas untung-rugi yang mengabaikan kemaslahatan rakyat.
Kontra dengan sistem Islam, paradigma pembangunan dalam Islam justru meletakkan kemaslahatan rakyat sebagai asasnya. Menjadi tanggung jawab penguasa untuk menjamin keselamatan rakyat. Oleh karena itu, menjadi kewajiban penguasa merencanakan penataan wilayah dan kependudukan secara tepat dan teliti.
Negara juga wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan papan bagi rakyat. Pemukiman warga dibangun bukan demi meraup pundi-pundi rupiah, melainkan untuk melayani kebutuhan tempat tinggal rakyat. Di sisi lain, beragam kebijakan terkait lahan/tanah wajib diatur sesuai koridor syarak mulai dari hak kepemilikan (milkiyah), pengelolaan (tasharruf), dan pendistribusian (tauzi’) tanah. Sehingga tidak ada ceritanya lahan sengketa yang menuai konflik dan masalah, bahkan hilangnya nyawa.
Inilah jaminan Islam dalam aspek tata kelola lahan dan pendudukan. Tidak hanya melindungi keselamatan rakyat, tetapi juga menjamin kebutuhan rakyat akan papan yang aman dan nyaman. Sesuatu yang makin susah dikecap oleh rakyat papa dalam naungan sistem nirmaslahat hari ini. Wallahu’alam bissawab.
Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masyarakat.